Negeri yang Tidak Mendukung Lahirnya Imam Syafi’i
Fatimah Binti Ubaidillah adalah seorang wanita mulia yang memiliki cita-cita besar untuk anaknya. Ibu single parent yang telah ditinggal mati suaminya ini sangat sadar akan lemah keadaannya. Yakni bahwa bila dirinya dan anak tercintanya tetap di tempat tinggal mereka, nasib masa depan pendidikan putra semata wayang tidak akan sampai pada cita-cita. Maka dijuallah rumah peninggalan suaminya demi menjadi bekal perjalanan panjang mereka. Perjalanan demi pendidikan sang buah hati yang masih kecil, seorang anak cerdas yang ia harapkan menjadi ulama besar di masa depan.
Berangkatlah beliau dan sang anak meninggalkan Palestina, bertolak ke Makkah, tanah suci dengan banyak ulama tersohor. Di sana mereka menetap, setelah menempuh jarak sekitar 1500 kilometer, memerlukan 40 hari perjalanan pada saat itu. Wanita tangguh ini mempertemukan sang anak dengan banyak ulama besar, salah satunya Imam Malik. Maka tidak heran, dengan menempuh jarak yang begitu jauh dan mengorbankan segala harta, dedikasi Fatimah Binti Ubaidillah menjadi amal jariyah beliau yang tak akan terputus. Karena dari pengorbanan beliau, tercetaklah ulama besar kaum muslimin yang terkenal sepanjang sejarah: Imam Syafii. (Disarikan dari Ibunda Para Ulama)
Cerita perjuangan Imam Syafii dan ibunda beliau ini mengalirkan banyak pelajaran. Salah satunya, bahwa ilmu itu harus diburu hingga di manapun dia berada. Rasulullah shalallahu alaihi wasalam menegaskan perintah ini, “Siapa yang menempuh jalan mencari ilmu, Allah akan memudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim, No. 2699). Maka dengan semangat ini, setiap anak muda muslim akan rela menempuh jarak jauh hanya demi pendidikan berkualitas dan cita-cita yang semakin dekat.
Sayang seribu sayang, cerita masa kecil Imam Syafii sepertinya tak akan terulang di negeri ini. Terutama bagi anak usia memasuki dunia SMP, tak akan bisa mengulang cerita perjuangan Imam besar ini. Pasalnya, ada sistem zonasi yang diberlakukan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMP oleh Mendikbud lewat Permendikbud No. 14/2018. Dalam aturan ini, sekolah wajib menerima minimal 90 persen murid barunya dari anak-anak lulusan SD setempat. Makin dekat jaraknya, makin diterima. Angka yang tertera pada NEM menjadi pertimbangan sekian. Akibatnya, anak yang berasal dari jarak banyak kilometer dari sekolah harus menempatkan mereka dalam urutan akhir PPDB, meskipun NEM-nya sangat tinggi sekalipun. Seandainya Imam Syafii kecil lahir di negeri kita, jaraknya yang 1500 kilometer sudah pasti ditolak di awal untuk masuk ke forum kajian para ulama di kota tujuan favorit.
Bila semua sekolah kualitas pendidikannya sama, dalam artian tenaga pengajarnya sama-sama banyak lulusan S2, perpustakaan lengkap, laboratorium lengkap, jumlah komputer untuk murid banyak, buku-buku dan modul dijaga ketat kualitasnya, tidak masalah sistem zonasi ini diberlakukan. Ibaratnya, mau mencetak Imam Syafii di mana saja, hasilnya tetap anak-anak didik sekualitas karya besar imam Syafii.
Sayangnya, hingga hari ini kualitas pendidikan yang demikian hanya dimiliki sekolah-sekolah favorit, terutama yang ada di pusat kabupaten/kota, terutama kota-kota besar. Ironi, anak-anak desa dan pedalaman hanya mimpi mendapatkan kualitas komputer penuh jaringan internet seperti anak-anak kota. Tentu sulit untuk mereka mengunduh video tentang pembuatan robot di youtube, bahkan tidak mungkin. Tidak seperti mudahnya anak-anak di sekolah favorit mengaksesnya. Inilah yang membuat PPDB SMP favorit selalu ramai setiap tahun. Anak-anak muda ini rela menempuh jarak ratusan kilometer dari rumah demi meraih cita-cita: merasakan bangku sekolah berkualitas, selangkah lebih dekat dengan cita-cita mereka dan menjadi lebih pintar.
Patut disayangkan apa yang dilakukan oleh penguasa negeri ini. Bagaimana mereka dengan mudah memangkas cita-cita anak desa dan pedalaman yang cerdas, sementara kualitas pendidikan yang merata dan biaya pendidikan yang terjangkau belum kunjung dapat mereka persembahkan kepada rakyat. Rakyat harus menelan ludah yang kering, karena biaya sekolah anak-anak kian mahal dan kualitas pendidikan baik yang masih bertengger hanya di sekolah favorit. Sementara penguasanya malah memaksa mereka menerima nasib pendidikan anaknya, dipaksa merasa cukup menyekolahkan anaknya di sekolah lokal dengan kualitas ala kadarnya. Atau kalau mau berusaha lebih, memeras keringat sampai habis untuk menyekolahkan anak di sekolah swasta yang bagus dengan biaya selangit. Hanya bila sekolah swasta semacam ini ada di wilayah tempat tinggal mereka juga.
Inilah gambaran sebuah negeri yang tidak mendukung lahirnya Imam Syafii abad ini. Akar masalahnya bukan hanya pada penguasa yang kurang bertanggung jawab, pun bukan hanya pada kadar iman seorang penguasa. Lebih dari itu, kayanya Makkah, Madinah, Kuffah dan Mesir dengan para ulama di zaman Imam Syafii merupakan buah dari keseluruhan kebijakan negara yang pro ahli ilmu dan takut pada Allah.
Bukan sembarang negara, tapi negara yang menempatkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber pertimbangan kebijakan negara yang mana pun. Negara yang menjadi surganya para pencari ilmu dan mendukung setiap upaya warganya untuk menguasai ilmu. Yang seorang guru ngaji untuk anak-anak saja digaji setara dengan 31 juta rupiah hari ini, di masa Umar Bin Khattab ra. Itulah model negara dambaan kita, negara bermodel Khilafah Rasyidah yang mengikuti petunjuk Rasulullah. Hanya dengan model negara inilah, pendidikan yang melahirkan Imam-Imam berikutnya, para profesor, para ilmuwan, para insiyur, dokter, dan para ahli di bidangnya akan bermunculan di negeri ini. Bermunculan dan berkarya demi kebaikan manusia seluruhnya. Hingga menjelmalah negeri ini menjadi negara adidaya, mercusuar peradaban, pembangungan, dan ilmu di dunia, mengalahkan negeri barat dan timur manapun. Ini bukan mimpi, tapi fakta sejarah Islam yang semestinya menjadi evaluasi dan cita-cita bersama.
Dengan model negara yang mau bertaubat kepada Allah, Pemilik Alam Semesta dan kembali kepada semua pengaturan negara berdasar aturan-Nya, pendidikan negeri ini justru akan menjelma menjadi model pendidikan terbaik. Pendidikan yang menjadi standar kualitas pendidikan dunia karena berbasis dari wahyu-Nya yang sempurna. Betapa banyak buku shirah dan tarikh yang menceritakan keunggulan pendidikan Islam, dan betapa banyak karya para ulama fiqih yang menunjukkan keberhasilan model pendidikan Islam. Maka, bila negeri ini mau mengulang keberhasilan menghasilkan para ulama sekaliber Imam Syafii, mengapa tidak kembali kepada aturan dari Zat Yang Maha Mengetahui?
Insaflah, wahai manusia!
Indah Shofiatin
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair, Surabaya