Munajat untuk Negeri di 212
Jauh sebelum 2 Desember tiba, kaum muslim di negeri ini telah bersiap menyongsong Reuni Akbar 212. Sebagaimana pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, ribuan umat akan berkumpul di satu titik untuk menyuarakan Islam. Mereka menanggalkan atribut kesukuan, pangkat, partai, status dan yang lainnya, demi Islam.
Aksi fenomenal ini sangat khas, karena membawa satu irama untuk membela syariat, ulama, dan bendera tauhid. Kesatuan inilah yang membuat pintu-pintu setiap rumah terbuka, menggerakkan kaum muslim menuju Monas sejak pagi dini hari. Mereka bersatu, terhimpun dalam jumlah yang sangat besar, yang tidak pernah ada sebelumnya. Alhasil seluruh mata duniapun memandang padanya.
Dari tahun ke tahun, aksi 212 tetap menjadi semangat umat untuk membela Islam. Dihadiri seluruh lapisan masyarakat, lintas organisasi dan gerakan. Meski kemudian tampak redup karena derasnya framing radikalisme, penangkapan para tokoh, serta adanya pandemi, tapi tak menjadikan semangat persatuan tersebut, pupus. Bahkan tetap membara, seiring fakta yang berkelindan di dalam tubuh umat.
Berbagai peristiwa menjadi bahan analisa seraya membandingkan solusi yang ditawarkan sekularisme dengan solusi Islam. Hingga akhirnya mereka terlatih berpikir politis dan senantiasa menunggu momen besar untuk melakukan muhasabah lil hukam atau mengoreksi penguasa. Maka 212 menjadi salah satu kesempatan menyampaikan aspirasi.
Aksi 212 juga menyatukan seluruh perbedaan yang ada. Dengan satu visi dan misi yaitu menerapkan aturan Allah, akan mengantarkan kaum muslim kepada jati diri yang sebenarnya yakni sebagai umat terbaik. Inilah bentuk kebangkitan yang hakiki.
Karenanya aksi 212 bukan lagi sekadar kerumunan biasa. Dia menjadi tumpuan harapan umat dan tempat hati berlabuh. Bersatunya umat merupakan bukti adanya kerinduan pada persatuan yang yang diikat kuat oleh akidah. Tak akan lapuk karena hujan dan tak lekang oleh panas. Syariat Islam menjaganya hingga kaum muslim bisa merasakan bahwasanya mereka adalah satu, semisal tubuh atau mistlul jasaadi.
Dari An-Nu’man bin Bisyir dia berkata, bahwa Rasulullah bersabda: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Muslim No 4685)
Ke sanalah perjuangan itu semestinya diarahkan, agar Islam tegak, bendera tauhid berkibar di angkasa dan Islam menjadi sebuah kekuatan yang akan mengguncang dunia. Sebagaimana dahulu Rasulullah menyampaikan Islam di tengah masyarakat jahiliyah Mekah, yang semula dianggap sebagai ajaran yang biasa, tapi akhirnya mereka menjadi jeri sebab berpotensi mengancam kedudukan para petinggi Quraisy seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah.
Kaum kafir pun takut agama baru itu akan menggoyahkan kepercayaan mereka. Apalagi terlihat berbondong-bondong orang masuk ke dalam Islam, meninggalkan berhala sesembahannya. Bahkan tatkala musuh Islam membuat berbagai keputusan, opini, juga sanksi untuk menjegal berkembangnya Islam, kaum muslim rela menyabung nyawa, demi agama Allah.
Sungguh tak heran jika saat ini kembali kegelisahan melanda kalbu umat menyaksikan ketidakadilan sepanjang waktu. Keimanan mereka terusik hingga tergerak untuk menuntut perubahan dan agar para penguasa kembali pada aturan Allah.