Panic Buying Bikin Pusing
Sejak program subsidi minyak goreng satu harga Rp14.000 diterapkan pemerintah 19 Januari lalu, Fenomena panic buying minyak goreng terjadi di tengah masyarakat. Saat minyak goreng makin sulit ditemui di pasaran, masyarakat berbondong-bondong memborong minyak goreng subsidi. Akibatnya kelangkaan terjadi di sejumlah toko-toko retail.
Dari data tersebut, terlihat bahwa sejak Oktober 2021 harga minyak goreng baik kemasan maupun curah sama-sama naik secara signifikan. Tercatat, harga minyak goreng kemasan nasional meningkat dari Rp12.100 per liter pada Januari 2020 menjadi Rp18.200 per liter pada Desember 2021. Sementara itu, minyak goreng curah meningkat dari Rp11.600 per liter pada Januari 2020 menjadi Rp17.700 per liter pada Desember 2021 (Validnews.id, 17/1/’22 )
Kenaikan harga minyak goreng sudah diproyeksi oleh Kementerian Perdagangan sejak tahun lalu. Diperkirakan hal ini akan terjadi hingga paruh pertama 2022. Direktur jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemenag Oke Nurwan menegaskan, kenaikan harga minyak goreng lebih dikarenakan harga internasional yang naik cukup tajam.
Dijelaskan juga oleh Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Kemendag Isy Karim pada Oktober 2021. Salah satu faktor harga minyak goreng naik karena harga CPO sebagai bahan baku yang melambung di pasar global hingga mencapa iUS$1,400 per MT. Program B 30 juga menjadi penyebabnya. Di sisi lain, terdapat penurunan panen sawit mencapai 10 persen pada target produksi semester dua tahun ini (Bisnis.com, 21/1/’22)
Bak Tikus Mati di Lumbung Padi
Bisa jadi gambaran tikus mati di lumbung padi sangat pantas untuk negeri ini (Indonesia). Negara kaya dengan sumber daya alamnya yang melimpah ruah, namun rakyat tidak dapat merasakan dan menikmati kekayaannya.
Sangat ironis, Indonesia sebagai negara terbesar penghasil CPO dunia, masyarakatnya harus membeli minyak goreng dengan harga mahal. Indonesia adalah produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar, namun kondisi di lapangan menunjukkan sebagian besar produsen minyak goreng tidak terintegrasi dengan produsen CPO.
Dengan entitas bisnis yang berbeda, tentunya para produsen minyak goreng dalam negeri harus membeli CPO sesuai dengan harga pasar lelang dalam negeri. Akibatnya, apabila terjadi kenaikan harga CPO internasional, maka harga CPO di dalam negeri juga turut menyesuaikan harga internasional. Jika sudah demikian rakyatlah yang menjadi taruhannya. Harga minyak goreng di pasar domestik melambung tinggi.
Lalu bagaimana nasib perekonomian masyarakat? Terutama masyarakat kelas ekonomi ke bawah yang menggunakan minyak sawit? Mereka adalah para pedagang gorengan, warung-warung makan dsb. Karena harga minyak goreng kelapa sawit lah yang termurah.
Inilah gurita sistem ekonomi kapitalis-liberal yang berpihak pada pemodal. Mereka lebih memilih mengekspor kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan mengabaikan kebutuhan pasar domestik demi mengeruk untung besar.