Meretas Jalan Dakwah di Bumi Peradaban Orang Papua
Teluk Wondama, Papua Barat (SI Online) – Jumat, 26 November 2021 kurang lebih pukul 09.00 waktu Papua, perjalanan dimulai. Masih dengan beberapa anggota Pol Air Polres Teluk Wondama. Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Teluk Wondama bertolak dari pelabuhan Kuri Pasai Wasior menuju distrik terjauh wilayah Kabupaten Teluk Wondama, Rumberpon.
Enam orang dewasa termasuk saya dan dua orang anak usia delapan tahun rombongan melintasi lautan mengendarai speed boat berukuran lumayan besar. Menggunakan tenaga pendorong mesin tempel berkekuatan 150 pk dua unit.
Dengan kondisi cuaca terbilang teduh, speed melaju tanpa hambatan berarti. Sekitar dua jam setengah melintasi lautan, rombongan tiba di Kaprus mengangkut beberapa orang lalu menuju Kampung Yembekiri, ibu kota distrik Rumberpon.
Sesaat kemudian kami sandar di jembatan kayu di tengah perkampungan. Dari kejauhan tampak beberapa orang penduduk lokal berjalan mengarah ke rombongan kami. Di antara rombongan penjemput, ada seorang pria berkulit hitam berambut gimbal keriting mengenakan peci dan kemeja Nahdlatul Ulama (NU).
Sontak menarik perhatian saya secara pribadi. Sambil terus berjalan ke rumah tempat kami berdialog sekaligus menjadi semacam Mushala dimana kami melaksanakan shalat Jumat berjamaah. Hati kecil berbisik tiada henti, siapa sosok pria berpeci itu. Hingga sampai di rumah tujuan rasa penasaran itu belum juga terjawab.
Setelah beberapa saat beristirahat sembari menikmati suguhan sirup dingin, kue dan kopi hangat, kamipun memasuki ruangan tengah rumah melaksanakan shalat Jumat dengan penuh hikmat. Ini pertama kali saya menjadi jamaah shalat Jumat di rumah yang selama ini saya tahu sebagai tempat ibadah saudara Muslim di Wilayah Rumberpon dan sekitarnya.
Shalat Jumat selesai giat dilanjutkan dengan dialog membahas nasib Mushollah yang sekian lama diimpikan oleh mereka di Wilayah Yembekiri dan sampai saat ini belum terealisasi-terkendala restu dari penduduk lokal.
Dipandu oleh MC berpengalaman sebagai Ibu, guru tapi juga orang tua bagi kami, wanita bernama Faraida mulai membuka acara dengan memuji nama Allah, bershalawat dan mempersilahkan Ketua Majelis Ulama Indonesia memberi sambutan sebagai pembuka dialog.
Dari diskusi itu, terjawablah rasa penasaran yang bersarang di hati dan benak saya tentang lelaki gimbal berpeci. Iya. Dialah Haji Malik, pemimpin Yayasan Mutiara Hitam Papua Barat yang bermarkas di Gunung Botak.
Diskusipun berlangsung penuh hikmat dengan sedikit riak dan Isak tangis seduh saat saudara Muslim menyampaikan harapan adanya rumah ibadah-Mushollah yang selama ini mereka impikan. Diskusi ditutup dengan ceramah singkat oleh Ustaz Zainal Abidin Ali, tentang pentingnya hubungan silaturahim antar sesama Muslim sekaligus sebagai penegasan tujuan kedatangan rombongan Majelis Ulama.