BNPT Umumkan Jumlah Pesantren Terafiliasi Terorisme, Kapan KPK Umumkan Jumlah Kampus Terafiliasi Koruptor?
Kampanye anti radikal nampaknya sudah overdosis. Radikal radikul, kata netizen. Bikin neg. Sedikit-sedikit radikal, sedikit-sedikit radikal. Kesannya, sadar atau tidak, tampak seperti Islamofobia. Kalau mau tahu, coba baca di kolom komentar Facebook atau Twitter media-media mainstream saat media itu mengunggah berita tentang isu radikalisme.
Karenanya menjadi simalakama saat Sekretaris Ditjen Bimas Islam Kemenag M. Fuad Nasar mengutip hasil survei yang menyebutkan 65 persen umat Islam Indonesia belum bisa membaca Al-Qur’an. Para dai, mubaligh atau anggota ormas Islam mudah saja sebenarnya digerakkan untuk turut membantu program pengentasan baca Al-Qur’an. Tapi, bukankah Menteri Agama Fachrul Razi saat masih menjabat pernah mencurigai sosok yang ‘good looking’, bahasa Arabnya bagus, hafiz Al-Qur’an, sebagai pintu masuk radikalisme di lingkungan pemerintah, BUMN dan Masyarakat?
Belakangan, malah bukan anak yang ‘good looking’ saja, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) malah menuduh hampir dua ratus pondok pesantren terafiliasi dengan terorisme. Spontan, tudingan Islamofobia mengarah ke BNPT. Walaupun tudingan itu secepatnya dibantah oleh pejabat lembaga tersebut.
Bicara tentang radikalisme, beberapa pejabat BNPT memang berhasil menuai kontroversi. Dulu, di awal-awal berdirinya BNPT (sebelumnya Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme), di mana-mana,Kepala BNPT saat itu, Irjen Pol Ansyaad Mbai menyampaikan dua kritera radikal: ingin menegakkan syariat Islam dan ingin mendirikan negara Islam. Itulah ciri radikal saat itu.
Sabtu, 7 Maret 2020, lima hari setelah kasus 01 dan 02 Covid-19 secara resmi diumumkan oleh Presiden Jokowi, Ansyad Mbai yang sudah pensiun dari BNPT dalam sebuah diskusi di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, bertanya: “bahaya mana virus Corona (Covid-19) dengan radikalisme?”
Saat itu, Ansyaad mengatakan radikalisme lebih berbahaya dari virus Corona. Ia beralasan, radikalisme yang menyebar di banyak negara termasuk Indonesia sangat sulit terdeteksi. Sedangkan virus Corona, kata Ansyaad saat itu, sudah jelas angkanya.
Tidak lama setelah Ansyaad Mbai bertanya seperti itu, lalu Pemerintah resmi memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang kemudian diubah menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Kini, setelah dua tahun Indonesia mengalami pandemi, kita bisa balik bertanya kepada Ansyaad Mbai. Di mana aksi radikalisme di Indonesia yang memakan korban meninggal dunia 144.261 orang? Di mana aksi radikalisme di Indonesia yang mengharuskan pemerintah mengeluarkan dana hingga Rp744,75 triliun? Di mana aksi radikalisme yang membuat umat Islam tidak shalat Jumat selama kurang lebih tiga bulan, tidak shalat tarawih berjamaah di Masjid dan tidak menggelar shalat Idulfitri? Di mana pula radikalisme yang membuat kehidupan ekonomi hampir seluruh warga Indonesia terdampak, usaha bangkrut, pekerja jadi pengangguran?
Sebagai informasi, menurut data Worldometers, hingga Jumat (28/01) pekan lalu, total kematian akibat Covid-19 di dalam negeri telah mencapai 144.261 orang. Jumlah ini membawa Indonesia berada di peringkat ke-9 sebagai negara dengan kematian tertinggi di dunia.