Urgenkah Proyek IKN di Tengah Pandemi?
Sungguh ironis, hadirnya proyek pembangunan IKN di provinsi Kalimantan Timur memunculkan banyak polemik, termasuk Kalsel yang menjadi provinsi penyangga IKN ini. Hal ini menambah banyak deretan PR penyelesaian problem negeri ini yang belum tuntas.
Sebagaimana dilansir MediaIndonesia.com, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalsel, Suparmi mengatakan, guna mewujudkan Kalsel swasembada dan lumbung ternak nasional serta penopang pangan ibu kota negara (IKN), pihaknya telah mengembangkan konsep perkebunan berkelanjutan yang salah satunya melalui program integrasi sapi-sawit. Sementara Bupati Tabalong, Anang Syakfiani mengaku mulai mempersiapkan diri menjadi daerah penyangga bagi ibu kota negara di Provinsi Kalimantan Timur. Persiapannya mulai dari pembangunan kawasan industri, pusat agribisnis hingga pembangunan bandara. (MediaIndonesia.com, 6/1/2022).
Adapun dilansir oleh AntaraKaltim.com, Warga asal Banjar, Kalimantan Selatan yang berdomisili di Provinsi Kalimantan Timur diminta terus meningkatkan sumber daya manusia (SDM) untuk menyambut perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke provinsi ini, agar mampu bersaing secara profesional. (AntaraKaltim.com, 22/1/2022).
Percepatan pembangunan IKN menjadikan pula percepatan pembangunan di Kalimantan Selatan yang makin hari kian digenjot begitu pula potensi SDM kian di tingkatkan. Hal ini tak salah kiranya masyarakat bertanya, untuk apa dan demi siapa proyek IKN ini? Ketika menilik urgensi proyek IKN ini sungguh begitu ironi, mengapa? Sebab, di tengah pandemi dan banyak PR problem masyarakat yang harus dituntaskan namun proyek pembangunan IKN malah semakin di desak terwujud.
Demikian wajar jika pemindahan IKN ke Kalimantan Timur ini dipandang sebagian masyarakat terlalu di paksakan saat keterbatasan dana dan SDM yang ada. Begitu miris lagi, kala proyek pembangunan ini akan didukung oleh para kapital investor yang sudah tentu hanya menginginkan keuntungan atas proyek ini semata. Proyek IKN hampir mirip dengan proyek kereta cepat yang menjadi bukti kegagalan sistem negeri ini di tengah pergolakan masyarakat. Inilah efek dari penerapan sistem kapitalisme, tanpa memandang apakah proyek itu perlu untuk kemaslahatan rakyat dan negara atau tidak. Semua proyek hanya berorientasi profit (keuntungan) bagi para kapital investor semata. Hal ini menambah bukti kegagalan negara menerapkan sistem kapitalisme sekuler dalam mengurusi kehidupan rakyatnya dan negaranya.
Islam adalah agama sekaligus ideologi yang melahirkan aturan rinci dan sempurna untuk mengatur setiap aspek kehidupan. Islam adalah jawaban atas segala problem kehidupan manusia termasuk problem pembangunan negara. Menurut pandangan Islam, setiap kebijakan penguasa selalu melalui proses panjang yang memperhatikan kemaslahatan umat sebagai timbangan. Sebab, penguasa tugasnya mengurusi masyarakat dengan syariah Islam secara menyeluruh (kaaffah) bukan memperkaya dirinya atau kelompok golongannya semata.
Sebagaimana Sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya seorang imam (khalifah) adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggungjawab atasnya”. [HR. Al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ahmad]. Dalam Islam, prioritas pembangunan akan mengutamakan hal-hal antara lain; Pertama, pembangunan berorientasi pada visi pelayanan umat. Negara akan fokus pada pembangunan yang lebih urgent memenuhi kebutuhan rakyat untuk dinikmati mereka, seperti perbaikan sarana publik, infrastruktur pendidikan yang merata, layanan kesehatan dan sebagainya.
Kedua, pembiayaan pembangunan tidak boleh menggunakan konsep investasi asing atau utang luar negeri. Sebab, dengan hal ini negara akan mudah di intervensi dan di setir oleh asing (tidak independen). Negara dalam Islam akan membiayai penuh infrastruktur dengan dana yang bersumber dari baitulmal yakni kharaj, fai, jizyah, hasil harta ganimah hasil pengelolaan sumber daya alam (tambang) dan sebagainya.
Negara juga dapat menarik dharibah (pajak) untuk pembiayaan infrastruktur. Strategi ini hanya boleh terjadi ketika kas baitulmal benar-benar kosong. Itu pun hanya untuk membiayai sarana dan prasarana vital, dan hanya mengambil dari kaum muslim, laki-laki, dan mampu, tidak selainnya.
Adapun ketika memindahkan ibu kota baru maka tentunya memerlukan perencanaan yang matang. Pemindahan ibu kota semestinya dilakukan secara optimal dari aspek kota baru yang dibangun, kota yang ditinggalkan sudah selesai problemnya dan selama masa transisi tersebut, pelayanan rakyat tidak boleh terganggu. Pada masa peradaban Islam, setidaknya ibu kota negara Khilafah mengalami perpindahan empat kali. Yang pertama dari Madinah ke Damaskus. Kedua, dari Damaskus ke Baghdad. Ketiga, pasca hancurnya Baghdad akibat serangan tentara Mongol, ibu kota Khilafah berpindah ke Kairo. Terakhir, dari Kairo ke Istanbul.