Kisruh Wadas, Potret Pilu Rakyat dalam Pusara Proyek Berkedok Pembangunan?
Kisah tanah yang terampas dan ancaman rusaknya alam, tampaknya tidak hanya terjadi di tanah Borneo dan Papua saja. Di tanah Jawa, di mana tuan penguasa bertatah, kisah yang sama pun terjadi di depan mata. Peristiwa dugaan intimidasi di Desa Wadas menambah daftar panjang kegagalan tuan penguasa dalam melindungi rakyatnya.
Dugaan intimidasi berdalih pengukuran lokasi rencana penambangan material bagi Bendungan Bener, yang dilakukan aparat kepolisian, masih menyisakan trauma bagi warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah. Ya, memanasnya situasi Wadas disebabkan oleh penolakan mayoritas warga untuk melepas kepemilikan tanah untuk pertambangan batu andesit. Warga menolak pertambangan ini, karena dapat mengancam kerusakan lingkungan.
Sebagaimana diketahui publik, batu andesit ini akan dijadikan sebagai salah satu material dalam proyek strategis nasional Bendungan Bener. Proyek yang didanai langsung dari APBN melalui Kementerian PUPR ini tak ayal lagi menimbulkan kerisauan di tengah warga Wadas. Desa yang kaya akan kekayaan alam dan terjaga kelestariannya ini pun terancam rusak karena pertambangan andesit. (tempo.co, 9/2/2022).
Warga Wadas tentunya sudah banyak belajar dari warga Borneo dan Papua. Perampasan tanah milik rakyat pribumi dengan dalih proyek investasi dan pembangunan, nyata mendulang kerugian yang tak sedikit. Rusaknya hutan sebab perkebunan sawit dan pertambangan batu bara, nyata tidak hanya mendatangkan bencana, tetapi juga hilangnya sumber kehidupan. Hutan yang dulunya menjadi sumber kehidupan, kini justru mendulang petaka.
Kerisauan akan hilangnya sumber kehidupan ini nyata terasa di dalam dada warga Desa Wadas. Tidak heran, warga Wadas sekuat tenaga menolak pertambangan batu andesit ini, meskipun diiming-imingi ganti rugi yang tidak sedikit. Semestinya, kerisauan ini pula yang dirasakan oleh tuan penguasa, karena sejatinya merekalah para pelayan rakyat.
Sebagai pelayan rakyat, seharusnya berbagai proyek yang digagas oleh tuan penguasa sejalan dengan kepentingan rakyat. Bukan sebaliknya, justru mengorbankan sumber kehidupan rakyatnya. Apalah artinya berbagai proyek tersebut, jika rakyat harus menelan pahitnya menyaksikan lingkungannya rusak, terancam bencana, dan kehilangan sumber kehidupan?
Mirisnya, inilah potret pilu rakyat sang pemilik negeri ini. Di berbagai tempat di bumi Nusantara, konflik antara rakyat dengan aparat, sebagai kepanjangan tangan tuan penguasa, kerap terjadi dalam berbagai bentuknya. Salah satunya konflik akibat penolakan berbagai proyek berkedok pembangunan yang digagas tuan penguasa, yang justru merampas dan menghancurkan kehidupan rakyat. Konflik ini nyata akan terus terjadi selama kapitalisme menjadi penggawa di negeri ini.
Ya, paradigma kapitalisme sukses melahirkan para penguasa yang melayani kepentingan para oligarki kapital. Penguasa tidak lagi berperan sebagai pelayan rakyat, sebaliknya merekalah para regulator yang melanggengkan kepentingan para cukong demi mendulang cuan. Ini ditandai dengan berbagai proyek berdalih investasi dan pembangunan, yang mirisnya justru mengancam hajat hidup rakyat.
Inilah akar masalah munculnya konflik antara tuan penguasa dan rakyatnya. Penguasa tidak amanah. Sistemnya justru mengundang derita, baik bagi alam maupun manusia. Alhasil, rakyat butuh sebuah sistem yang tidak hanya mampu melahirkan pemimpin yang amanah, tetapi juga mendatangkan kemaslahatan.
Jika sistem kapitalisme gagal menjaga kekayaan alam milik rakyat dan terus saja mengundang konflik, maka sistem Islam sangat melindungi kepemilikan dan keamanan rakyatnya. Apalagi terhadap kelestarian alam dan lingkungan, karena keduanya adalah sumber kehidupan manusia dan tempat mengemban misi mulianya sebagai khalifah di bumi-Nya.