Revolusi Sosial
Adalah La Nyalla AA Mattalitti, Ketua DPD RI, yang menyatakan bahwa revolusi sosial bisa terjadi jika penyelenggara negara sudah kelewatan. Ia menanggapi usulan Cak Imin, Zulhas, dan Airlangga tentang penundaan pemilu legislatif maupun pemilihan presiden. Menurutnya kesalahan fatal jika penundaan itu terjadi. Rakyat diam dapat mereaksi keras.
“Sekarang mungkin masih diam, masih punya batas kesabaran melihat tingkah pola elite politik. Tapi kalau sudah kelewatan, bisa pecah revolusi sosial. Pemilik negara ini bisa marah dan para elite politik bisa ditawur oleh rakyat,” kata La Nyalla di Surabaya. Kalimat tegas dan kritis sekaligus “warning” ini tentu menggema ke telinga elite politik yang sedang bergerak menuju perilaku politik yang melampau batas.
“Revolusi sosial” adalah terma yang cukup menarik. Menjadi biasa dan tidak akan mendapat reaksi dari elite kekuasaan ketika disampaikan oleh Ketua DPD RI. Mungkin berbeda jika hal itu dilontarkan oleh Ustaz, Habib, Kiai, atau aktivis Islam. Di samping dituduh radikal atau provokasi mungkin juga dikaitkan makar. Maklum rezim ini Islamophobist dan bertelinga tipis.
Karena penundaan Pemilu adalah melawan konstitusi, maka “warning” ini menjadi sangat penting. Pemerintah Jokowi harus segera menegaskan bahwa tidak akan memperpanjang masa jabatan dengan menunda pemilu. Berpidato untuk menjawab keraguan rakyat. Jangan kemudian muncul tuduhan bahwa yang tidak setuju penundaan adalah orang atau kelompok yang tidak peduli dengan kondisi ekonomi dan pandemi. Ujungnya radikal radikul.
Mengambangkan sikap dan membiarkan wacana penundaan terus menggelinding justru dapat menjadi pematangan kondisi apa yang dinyatakan La Nyala sebagai revolusi sosial. Semestinya pemerintah sadar bahwa rakyat sudah mulai kecewa dan hilang kepercayaan terhadap kemauan dan kemampuan oligarkhi Jokowi dalam mengelola negara.
Tidak terkececoh oleh kepalsuan informasi kepuasan rakyat, polling abal-abal, dengungan para buzzer, atau pujian para penjilat yang ujungnya meminta Jokowi untuk menjabat tiga periode. Sayangnya meski ia tahu semua itu dapat menjerumuskan, akan tetapi tenang dan senang saja mengikuti irama lagu “nina bobo” itu.
Revolusi sosial menurut Skockpol adalah perubahan cepat dan mendasar dari masyarakat dan struktur kelas suatu negara. Revolusi itu bersamaan dengan pemberontakan masyarakat bawah. Akarnya tentu rezim otoriter dan keputusasaan rakyat. Revolusi sosial menjadi kulminasi dari gelombang kritik yang tidak didengar atau ditindaklanjuti.
Revolusi Perancis adalah rakyat yang menggulingkan Raja Louis XVI yang otoriter dan tidak kompeten. Diawali penyerbuan ke penjara Bastille tempat banyak aktivis dan oposan ditahan. Mengubah monarkhi menjadi republik berbasis asas kebebasan, persaudaraan, dan persamaan.
Revolusi Bolshevik Rusia pada Oktober 1917 diawali dengan aksi unjuk rasa rakyat bulan Juli yang membawa korban ratusan pengunjuk rasa tewas dibunuh rezim. Revolusi kiri pimpinan Vladimir Lenin yang didukung garda merah dan para pekerja berhasil menggulingkan Alexander Karensky pemimpin berhaluan nasionalis.
Revolusi dalam makna people power terjadi di Jerman, Georgia, Cekoslovakia, Filipina dan sebagian negara di Timur Tengah. People power Filipina cukup menarik. Rezim Ferdinand Marcos yang otoriter dan membungkam oposisi mengalami krisis ekonomi, tinggi angka hutang luar negeri, membunuh senator Benigno Aquino Jr, serta melakukan kecurangan pemilu tahun 1986. Perlawanan rakyat bersama Enrile dan Ramos didukung oleh kaum agamawan pimpinan Kardinal Jaime Sin.
Entah revolusi sosial model mana yang dimaksud La Nyalla Mattalitti itu. Namun semua revolusi sosial selalu berhubungan dengan penggulingan kekuasaan otoriter. Soekarno dan Soeharto telah merasakannya. Moga Jokowi belajar banyak.
M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 2 Maret 2022