Anies Baswedan dan Calon Presiden Partisipasi Publik
Baru terjadi dalam sejarah pencalonan Presiden RI berasal dari partisipasi publik. Lazimnya, seorang calon Presiden itu ditentukan oleh partai pendukungnya, baik ditunjuk langsung maupun melalui suatu konvensi pemilihan yang dilaksanakan partai bersangkutan.
Awal mula yang menjadikan calon Presiden partisipasi publik itu muncul dan ada diakui eksistensinya, akar politiknya terbentuk berasal dari ditandai bermunculannya banyak kelompok dan komunitas relawan politik yang tumbuh dan tersebar di pelbagai daerah—di samping merepresentasikan zona wilayahnya, sekaligus membawa suara (taking to vote getter) pilihan siapa calon Presiden yang bakal diusungnya.
Karenanya, adanya kelompok dan komunitas relawan politik itu boleh dibilang merupakan fenomena bentuk dan cara menyalurkan suara aspirasi politik rakyat baru di Indonesia.
Boleh jadi cikal bakal lahirnya semenjak 2019 lalu saat kontestasi Pilkada DKI Jakarta di mana kedua calon Gubenur memiliki motif politik tersendiri sebelum akhirnya mereka mendapatkan dukungan dari partai politiknya masing-masing.
Basuki Tjahja Purnama yang semula dari tokoh independen harus melalui pengumpulan kuota satu juta KTP terlebih dahulu saat itu, sebelum diinisiasi masuk bergabung dengan partai kemudian dipasangkan dengan Jokowi menjadi Wakil Gubernur. Sementara Anies Baswedan yang belum mendapatkan “pinangan” partai dan hanya didukung para kelompok dan komunitas relawan politik itu malah menjadi Gubernur DKI Jakarta didampingi Sandiaga Uno yang justru sebelumnya sudah didukung oleh partai-partai politik terlebih dahulu.
Baca juga: Anies Tak Terbendung? Itu Kan Kata Anda!
Sekarang kelompok dan komunitas relawan politik itu sudah tersebar di mana-mana hampir semua daerah di seantero nusantara dan uniknya menggunakan pelbagai label dan atau atribut bermacam-macam nama tetapi dengan spesifikasi dan ciri khas tersendiri selalu dibarengi dan tak pernah lepas dari nama calon Presiden yang akan diusungnya.
Meskipun kelompok dan komunitas relawan politik ini berstatus informal—karenanya berbanding terbalik dengan prosedur hukum formal yang umumnya dianut oleh kepartaian termasuk organisasi sayapnya, senyawanya mereka itu dibentuk atas inisiatif sendiri secara sukarela, berswadaya secara mandiri, sasarannya bisa ikut berpartisipasi dalam event politik besar secara nasional memilih calon terbaik dan mumpuni pemimpin bangsa dan negara tanpa adanya tuntutan kepentingan-kepentingan politik apapun.
Apalagi menyangkut tuntutan kepentingan politik yang bersifat transaksional dan atau adanya kontrak politik seperti yang lazim digunakan oleh partai-partai politik yang mengusungnya. Mereka seolah berada di kiprah mimbar kebebasan ruang saluran demokrasi dari “The no zonk politic action”—tuntutannya cuman dan hanya satu menyuarakan calon Presiden yang diusungnya itu kelak bakal menjadi, “to be real President”.
Pertanyaan menariknya kemudian kenapa kemunculan begitu riuh, banyak dan tumbuh suburnya kelompok dan komunitas relawan politik itu berada di ruang politik publik saat ini?