LGBT Diberi Panggung, Liberalisme Makin Akut
Kaum pelangi tidak hentinya diberi panggung. Salah satunya oleh Deddy Corbuzier. Viral di media sosial podcast-nya yang mengundang pasangan gay yang telah menikah di Jerman. Tidak hanya kontennya yang berani, judulnya pun tak kalah provokatif. “Tutorial Menjadi Gay di Indonesia!” seolah menantang publik di negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini.
Mirisnya, ini bukanlah yang pertama kali bagi Youtuber yang berpengikut 18,6 juta itu menayangkan konten LGBT. Sebelumnya, ada beberapa podcast-nya yang terang-terangan mempromosikan LGBT. Namun, baru kali ini menuai kecaman keras dari berbagai pihak.
Meskipun podcast tersebut akhirnya di-take down, karena derasnya kritik dari warganet, tetapi sampai hari ini belum ada tindakan hukum apa pun terhadap Deddy Corbuzier ataupun terhadap konten podcast-nya. Bahkan Menko Polhukam, Mahfud MD, dalam cuitannya merespons pernyataan Said Didu di akun Twitter pada Rabu (11/5), menyebut bahwa pihak yang menayangkan konten LGBT dan pelaku LGBT belum dilarang oleh hukum di Indonesia. Mahfud bahkan mempertanyakan undang-undang nomor berapa yang dapat menjerat Deddy Corbuzier dan pelaku LGBT atas konten tersebut?
Inilah wajah buruk demokrasi. Ide sesat kaum pelangi yang merusak fitrah justru dipromosikan atas nama kebebasan berekspresi. Paradigma demokrasi yang mengagungkan liberalisme, nyata mengantarkan manusia bebas menuruti hawa nafsunya, termasuk bebas menikah dengan sesama jenis.
Ide sesat ini makin berani dipromosikan. Diberi panggung agar lantang bersuara. Media dalam naungan demokrasi pun terbukti mengakomodasi kaum LGBT. Mirisnya, negara pun ikut mengayomi. Atas nama hak asasi manusia, kaum pelangi ini justru dilindungi. Amerika, Jerman, dan Belanda adalah contoh negara yang melindungi bahkan melegalkan keberadaan kaum pelangi ini. Namun, tidak demikian dengan keberadaan LGBT di Indonesia.
Negara dengan berpenduduk muslim terbesar di dunia ini jelas terusik dengan keberadaan kaum LGBT. Ghirah keimanan dalam diri kaum muslim di negeri ini jelas menjadi benteng bagi eksistensi mereka. Sayangnya, ini tidak sejalan dengan sikap tuan penguasa di negeri ini. Di balik topeng kebebasan, dalam naungan hak asasi manusia, LGBT terus saja diberi ruang oleh tuan penguasa.
Sikap berisik kaum muslim di media sosial, memang sukses membuat Deddy Corbuzier menurunkan podcast-nya. Namun, di luar sana masih banyak konten serupa yang berseliweran di media sosial, yang jelas membahayakan generasi bangsa. Alhasil, umat membutuhkan solusi sistemik agar kaum LGBT tidak lagi berkutik.
Perbuatan liwath (homoseksual) jelas menyalahi fitrah. Dalam paradigma Islam, perbuatan ini dikategorikan sebagai dosa besar. Perbuatan keji yang dilaknat oleh Allah SWT. Bahkan karena perbuatan ini, Allah SWT menghancurkan kaum Nabi Luth a.s. (QS. Hud [11]: 82). Jelas, Islam tidak mengakui keberadaan kaum LGBT ini. Islam pun mencela perilaku LGBT dengan sangat keras.
Sebagai upaya preventif terhadap tindakan keji ini, Islam pun secara tegas mengancam para pelakunya dengan sanksi keras, yakni hukuman mati. Sebab tanpa adanya sanksi tegas, para pelaku liwath ini tidak akan pernah jera. Sanksi ini sebagaimana termaktub dalam sabda Baginda Nabi Saw., “Siapa saja yang menjumpai kaum yang melakukan perbuatan kaum Luth, bunuhlah pelaku maupun pasangannya.” (HR. Abu Dawud).
Adapun bagi pelaku lebianisme akan dikenai sanksi takzir, yakni jenis hukuman yang bentuk dan kadarnya diserahkan pada keputusan qadhi (hakim). Hukuman tersebut dapat berupa cambukan, penjara, bahkan hukuman mati.