Pencitraan, lmage Imitasi para Politisi
Akhir-akhir ini publik kembali disuguhi berita-berita, terutama di media mainstream, tentang aksi para politisi yang tidak seperti biasanya. Jelang tahun Pemilu, kejadian seperti ini sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan.
Mulai dari aksi para politisi ini untuk terjun langsung ke masyarakat, misal dengan ‘blusukan’ ke pasar, aksi silaturahmi mereka dengan kalangan santri dan para kyai di pesantren, hingga aksi sholat berjamaah di masjid yang membuat mereka terlihat sangat Islami.
Aksi-aksi tersebut pada masa-masa sebelumnya nyaris tidak pernah terlihat. Akan tetapi menjelang tahun 2019, tiba-tiba para politisi berlomba-lomba untuk menjadi yang paling dekat dengan rakyat. Apa gerangan sebenarnya yang sedang terjadi?
Perilaku para politisi inilah kiranya yang disebut sebagai pencitraan. Pencitraan merupakan sebuah upaya untuk membangun citra, gambaran, yang positif (bisa juga negatif) tentang seseorang.
Dalam dunia self-branding, pencitraan ini memang sesuatu yang biasa dilakukan. Bahkan bisa jadi suatu keharusan. Hal ini dibutuhkan untuk membangun citra yang baik dan merebut perhatian publik demi tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud.
Meskipun pada awalnya pencitraan ini hanya di gunakan dalam dunia bisnis dan ekonomi untuk membangun bisnis seseorang atau membangun sebuah perusahaan. Namun, sekarang ini dunia politik pun sering menggunakan pencitraan ini untuk membangun image para politisinya.
Dalam alam politik demokrasi, dimana Pemilu menjadi salah satu pilar utamanya, pencitraan sangat sering dilakukan. Pencitraan dilakukan untuk meraih simpati masyarakat sebagai calon pemilih yang suaranya sangat diperlukan dalam upaya mereka meraih kekuasaan.
Sebut saja Hari Tanoe, sang CEO MNC Group sekaligus Ketum Partai Perindo yang telah lama rajin menyambangi Ponpes-ponpes di seluruh Indonesia demi meraih simpati kalangan santri dan para kyai. Tentu yang diharapkan dukungan suaranya saat Pemilu nanti.
Kemudian kita juga disuguhi aksi pencitraan Presiden Jokowi dalam hiruk pikuk divestasi Freeport. Dengan bangganya Presiden menyatakan bahwa 51% saham Freeport telah berpindah tangan ke Indonesia. Padahal fakta dilapangan menunjukkan bahwa proses pengambilalihan saham Freeport masih berlangsung dan belum final. Jadi terlalu dini jika Presiden Jokowi memberikan pernyataan demikian.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Dalam alam demokrasi sekuleristik memang segala cara bisa ditempuh untuk meraih tujuan yang dimaksud. Bahkan hoax dan pembohongan publik menjadi sah-sah saja demi meraih dukungan dan simpati masyarakat. Yang diharapkan akan memberikan suaranya demi tercapainya kekuasaan.
Tidak ada kode etik, apatah lagi mengindahkan aturan Allah. Semuanya sah-sah saja dilanggar. Tidak hanya pencitraan positif yang dilakukan. Akan tetapi pencitraan negatif juga dilakukan demi menjatuhkan lawan-lawan politiknya. Semua demi meraih kekuasaan.
Demikianlah fakta yang ada dalam alam demokrasi. Alih-alih menjadikan politik sebagai upaya mengurus urusan rakyat, malah hanya dijadikan sebagai ajang berebut kekuasaan. Segala cara pun ditempuh untuk mencapai tujuan, termasuk pencitraan.
Akan sangat berbeda kondisinya jika yang melingkupi kita adalah sistem Islam. Politik dalam Islam bermakna mengurus urusan rakyat. Jadi orang-orang yang berada dalam lingkup politik, yaitu para politisinya, sudah pasti haruslah orang-orang yang memang mempunyai kapasitas sebagai pengurus urusan rakyat.
Para politisi ini diberikan amanah sebagai pemimpin rakyat karena memang benar-benar dianggap mampu untuk melaksanakan amanah tersebut. Bukan karena pencitraan yang hanya dibuat-buat. Bahkan cenderung menipu rakyat.
Mereka juga dipastikan adalah orang-orang yang sangat memahami tanggungjawabnya sebagai pemimpin. Mereka akan senantiasa bersikap amanah karena yakin pasti akan dimintai pertanggungjawaban akan amanahnya itu. Bukan saja di dunia tetapi juga di hadapan Allah di akhirat nanti.
Sejarah mencatat bagaimana para Khalifah pada masa kekhalifahan Islam yang pernah berlangsung selama 13 abad, mengatur segala urusan rakyatnya.
Khalifah Umar bin Khattab r.a. bahkan pernah memikul sendiri gandum untuk salah satu warganya yang kelaparan. Beliau melakukan hal itu sebagai tanggungjawab beliau sebagai seorang Khalifah.
Kemudian ada Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sangat amanah dan kehidupannya sangat bersahaja. Beliau tidak mau sedikit pun memakai fasilitas negara demi kepentingan pribadinya. Meski hanya sekedar minyak yang menyalakan lentera.
Ada juga Khalifah al Mu’tasim Billah yang mengirimkan puluhan ribu tentaranya ketika ada seorang muslimah yang diganggu oleh orang Yahudi. Hal ini juga dilakukan sebagai pertanggungjawaban beliau sebagai pelindung dan pengurus urusan umat.
Dengan demikian, para politisi dalam Islam bukanlah orang-orang yang haus akan kekuasaan. Yang dengan mudah memberikan janji-janji pada masyarakat sementara abai akan segala janjinya setelah duduk sebagai penguasa.
Para politisi dalam Islam adalah orang-orang yang sangat memikirkan urusan rakyatnya. Mereka adalah orang-orang terpilih yang tidak diragukan lagi kapabilitasnya sebagai pemimpin.
Mereka tidak butuh dan tidak akan pernah melakukan pencitraan. Sebab tanpa pencitraan pun rakyat telah bisa melihat citra mereka yang sebenarnya. Bahwa mereka adalah politisi, penguasa dan pemimipin yang amanah dan bertanggungjawab.
Berbeda sekali dengan para politisi yang ada pada masa sekarang. Mereka mencoba tampil sebaik mungkin di hadapan rakyatnya hanya saat mereka membutuhkan suara rakyat. Demi memuluskan jalan meraih kekuasaan. Namun, setelahnya wallahu’alam.
Betapapun para politisi ini mencoba memoles tampilan mereka, tetap saja terlihat seperti apa yang sebenarnya. Pepatah jawa mengatakan, “Becik ketitik ala ketara”. Jika memang mereka baik maka rakyat akan bisa melihat juga. Begitupun sebaliknya.
Rakyat sejatinya telah terbiasa dengan musim pencitraan ini. Sebab demikianlah yang terjadi setiap suara mereka sedang dibutuhkan oleh para politisi. Mereka diberi janji-janji yang tak pernah terrealisasi.
Semoga fenomena pencitraan politik ini semakin membuat umat tersadar akan buruknya demokrasi yang tak pernah memberi solusi. Yang hanya menjadi ajang bertaruh gengsi antar politisi.
Hanya Islam yang telah terbukti. Mampu melahirkan para politisi yang amanah juga mumpuni. Yang menciptakan kesejahteraan di seluruh negeri. Maka, seharusnya hanya kepada Islam dan seluruh aturannya lah kita kembali.
Mukhy Ummu Ibrahim