Umat Islam Sedunia Berhari Raya pada Hari yang Sama
Topik ini pasti mengundang perdebatan seru. Dengan teori rukyat global dan rukyat lokal, otomatis akan lahir dua pendapat yang berbeda. Mestinya tidak perlu diperdebatkan. Perdebatan ini seperti sudah final, tinggal pilih, mau memilih yang mana dari dua pendapat yang berbeda ini.
Para Ulama dengan bijak telah mewariskan khazanah ilmu kepada generasi sesudahnya untuk diamalkan dan bukan untuk diperdebatkan.
Maka jika ada dua pendapat yang berbeda seharusnya disikapi dengan bijak, dan bukan dengan mencibirkan atau mempertontonkan sikap yang sungguh tak bijak.
Teori tentang rukyat global dan rukyat lokal, kembali mengemuka, tapi bukanlah barang baru. Meskipun muncul dengan narasi yang berbeda, dibumbui dengan segala pernak perniknya, namun jika ditarik jauh ke belakang sejarah perkembangan mazhab, pada hakikatnya kedua pendapat ini telah ada dan berkembang sejak akhir abad pertama Hijrah hingga abad 3-4 H.
Ketika itu terjadi dialog antara dua Sahabat mulia Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dengan Kuraib ra, (dikenal dengan Hadits Kuraib)
Dialog tentang Rukyatul Hilal dan Tauhidur Ru’yah, lalu kini berubah menjadi Penyatuan Awal Ramadhan dan Penyatuan Hari Raya (Tauhidul A’yad) yakni Idulfitri dan Iduladha.
Dialog saat itu tentang Tauhidur Ru’yah, yakni Penyatuan Rukyat antara umat Islam di kawasan Suriah, Yordania, Palestina dan Iraq yang dahulu dikenal dengan Wilayah Syam. Dan umat Islam di kawasan Hijaz khususnya kota Madinah.
Diakhir dialog, Kuraib mengajukan pertanyaan singkat: Mengapa kita tidak cukupkan mengikuti rukyat Muawiyah dan shaumnya penduduk Syam? Jawab Ibnu Abbas : Hakadza amaranaa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah perintah Rasulullah kepada kita. Perintah Rasulullah Saw yang dimaksud adalah: Puasalah kamu karena melihat bulan dan berhari rayalah kamu karena melihat bulan (HR. Ahmad, Muslim, Turmudzi) (lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 1/325).
Istinbath hukum dari dialog ini, ditetapkan bahwa masing-masing negeri mempunyai rukyat sendiri-sendiri yang bernama Rukyat Lokal. Tetapi kemudian pendapat ini berkembang menjadi permanen bahwa tidak mungkin umat Islam berhari raya pada satu hari yang sama. Dan tidak mungkin mengawali puasa Ramadhan pada hari yang sama. Perbedaan Rukyat Hilal tidak dapat dihindari karena adanya perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan).
Dan perbedaan mathla’ adalah sunnatullah fil kaun, hukum Allah dalam ciptaan alam raya, yang tidak mungkin diubah.