Salman Rushdie: Lahir dari Keluarga Muslim Liberal, Menista Islam dan Kini Jadi Ateis Garis Keras
New York (SI Online) – Salman Rushdie yang lahir pada 19 Juni 1947 adalah pengarang sejumlah buku berkebangsaan Inggris yang lahir di India.
Rushdie sempat dipuji dunia karena novel keduanya yang berjudul Midnight’s Children pada 1981, serta memenangi Penghargaan Booker bergengsi di Inggris, Booker Prize, untuk penggambarannya tentang India pasca-kemerdekaan.
Namun, pada 1988, bukunya berjudul “The Satanic Verses” dinilai merupakan penistaan agama. Novel itu dianggap oleh sebagian umat Islam sebagai penghinaan terhadap Nabi Muhammad. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ruhollah Khomeini memfatwakan mati untuk Rushdie.
Baca juga: Penulis ‘Ayat-Ayat Setan’ Salman Rushdie Ditikam di New York
Rushdie lahir di India dari keluarga Muslim liberal dan saat ini mengidentifikasi diri sebagai seorang ateis.
Dalam wawancara tahun 2006 dengan PBS, Rushdie menyebut dirinya sebagai “ateis garis keras”.
Pada 1989, dalam wawancara setelah fatwa pembunuhannya tersebut, Rushdie mengatakan dia dalam arti tertentu adalah seorang Muslim yang murtad, meskipun “dibentuk oleh budaya Muslim lebih dari yang lain”, dan seorang pelajar Islam.
Dalam wawancara lain di tahun yang sama, dia berkata, “Pandangan saya adalah manusia sekuler. Saya tidak percaya pada entitas supernatural, baik Kristen, Yahudi, Muslim atau Hindu.”
Pada tahun 1990, dengan “harapan itu akan mengurangi ancaman Muslim yang bertindak berdasarkan fatwa untuk membunuhnya,” dia mengeluarkan pernyataan yang mengklaim bahwa dia telah memperbarui keyakinan Muslimnya. Dia mengaku telah menolak serangan terhadap Islam yang dilakukan oleh karakter dalam novelnya, dan berkomitmen bekerja untuk pemahaman yang lebih baik tentang agama di seluruh dunia.
Namun, Rushdie kemudian mengatakan bahwa dia hanya “berpura-pura” dengan pernyataan itu. Rushdie menganjurkan penerapan kritik yang lebih tinggi, dirintis pada akhir abad ke-19. Rushdie menyerukan reformasi dalam Islam dalam opini tamu yang dicetak di The Washington Post dan The Times pada pertengahan Agustus 2005.
“Apa yang dibutuhkan adalah sebuah gerakan di luar tradisi, tidak kurang dari satu gerakan reformasi untuk membawa konsep inti Islam ke zaman modern, satu Reformasi Muslim untuk memerangi tidak hanya para ideolog jihad tetapi juga seminari-seminari tradisionalis yang berdebu dan menyesakkan, membuka jendela untuk menghirup udara segar yang sangat dibutuhkan.… Sudah saatnya, sebagai permulaan, umat Islam dapat mempelajari wahyu agama mereka sebagai peristiwa di dalam sejarah, bukan secara supranatural di atasnya.… Berwawasan luas terkait dengan toleransi; keterbukaan pikiran adalah saudara dari perdamaian,” tulis Rushdie.
Rushdie mendapat perlindungan polisi oleh pemerintah di Inggris, tempat dia bersekolah dan tempat tinggalnya, setelah sejumlah upaya pembunuhan dan pembunuhan terhadap penerjemah dan penerbit bukunya. Dia menghabiskan hampir satu dekade bersembunyi, pindah rumah berulang kali dan tidak bisa memberi tahu anak-anaknya di mana dia tinggal.
Rushdie baru mulai muncul dari persembunyiannya pada akhir 1990-an setelah Iran pada 1998 mengatakan tidak akan lagi mendukung pembunuhannya. Sekarang dia tinggal di New York.
Dia adalah seorang penganjur kebebasan berbicara, terutama meluncurkan pembelaan yang kuat pada majalah satire Prancis Charlie Hebdo yang menista Islam, setelah stafnya ditembak mati di Paris pada tahun 2015.
Ancaman dan boikot terus berlanjut terhadap acara sastra yang dihadiri Rushdie, dan gelar ksatrianya pada tahun 2007 memicu protes di Iran dan Pakistan, di mana seorang menteri mengatakan gelar kehormatan itu membenarkan pemboman bunuh diri.
red: a.syakira