Sudah Merdekakah Kita?
Perjuangan Imam Bonjol
Dalam sebuah manuskrip ditulis bahwa Tuanku Imam Bonjol pernah ditawarkan `kemerdekaan` oleh Belanda. Menjadi simbol pemimpin tertinggi negara Paderi dan yang menjalankan pemerintah eksekutif adalah anaknya sendiri bernama Sulthan Chaniago.
Tentu saja semua itu hanyalah sebuah negara boneka yang berada di bawah tapak kaki kuasa Belanda secara hakiki.
Tuanku Imam Bonjol yang telah tua dan lemah ketika itu hanya mampu mengatakan terpulanglah..
Ini karena secara akal waras semuanya tidak berguna lagi. Bonjol sebagai ibu kota negara Paderi yang kuasanya pernah sampai ke tanah Batak itu telah menjadi padang jarak padang tekukur.
Sebuah ‘negara’ Paderi yang dulunya aman Makmur dengan tanah subur sumber alam yang melimpah emas dan perak serta manusianya yang telah dimerdekakan dari judi dan candu ketika itu telah dimusnahkan oleh penjajah atas bantuan kaum pribumi sendiri. Ada yang menyebutkan dalam sepuluh tentara Belanda terdapat sekitar delapan orang daripadanya adalah para pengkhianat anak negeri.
Pun demikian, perjuangan tidak pernah berhenti. Anak buah Tuanku Imam Bonjol meneruskan perang gerilya dari hutan ke hutan. Akibatnya Tuanku Imam Bonjol menjadi tahanan rumah, tahanan kota, dibuang negeri ke Cianjur, Ambon, Minahasa dekat Manado karena tidak mau menghentikan perlawanan itu.
Merdekakan Akal
Dalam berbagai karyanya, Hamka sangat menekankan kemerdekaan minda dan akal ini. Baginya raga boleh dipenjara tetapi akal harus tetap merdeka.
Perdebatan antara penguasa Yunani dengan filosof mereka ketika itu dijawab mudah oleh raja mereka, ‘beri mereka hiburan yang melalaikan agar rakyat lupa menuntut hak mereka bidang sipil, sosial, politik, ekonomi, pembangunan dan budaya.’
Maka dengan demikian acara lama seperti berlari dalam karung, memanjat pohon pinang, memakan kerupuk sebagainya dapat dimajukan pada acara-acara yang dapat meningkatkan kecerdasan anak bangsa.