Duka Lombok dan Air Mata Pemimpin yang Kering
Duka masih menyelimuti negeri ini. 5 Agustus 2018 lalu gempa berskala 6,9 skala richter mengguncang Indonesia bagian timur dengan dahsyat.
Pusat gempa yang berada 45 km dari Nusa Tenggara Barat mengirimkan ketakutan dan trauma pada warga Lombok. Isu tsunami menambah kekhawatiran warga. Puluhan ribu penduduk Gili Trawangan, Gili Air dan Gili Meno mengungsi. Badan nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 20.000 warga telah mengungsi. 447 gempa susulan masih menghantui Lombok hingga Jumat pagi 10 Agustus 2018, serta tercatat 347 orang meninggal dan ribuan lainnya mengalami luka berat sampai ringan.
Seluruh penjuru negeri berduyun-duyun memberikan bantuan semampunya untuk meringankan penderitaan Lombok. Hampir setiap perempatan dijadikan pos pengumpul bantuan yang akan disalurkan ke Lombok. Duka Lombok menjadi duka seluruh negeri ini.
Sayangnya, pesta pora pemilihan capres dan cawapres terus terjadi dalam gegap gempita yang sebelumnya dan seharusnya. Presiden kita tersenyum bangga di samping cawapres terpilih, KH. Ma’ruf Amin, yang akan mendampingi Presiden dalam ajang pemilu tahun depan. Duka untuk Lombok cukup disampaikan dengan, “…turut menyampaikan duka yang mendalam” lalu urusan pelik ini diserahkan kepada instansi pemerintah terkait. Entah berapa ratus orang yang meninggal dalam gempa, entah berapa ribu yang menangis merintih karena terluka, entah berapa kerugian materiil dan psikis yang menimpa rakyat, senyum menyambut pesta demokrasi tetap harus disuguhkan semanis mungkin oleh pemimpin kita yang sangat sibuk.
Trenyuh dan miris menyaksikan fenomena negeri beribu pulau ini. Seolah pemimpin dan rakyat terpisah oleh dinding pemisah super tebal. Presiden tak menangis bersama dengan tangisan rakyat karena menanggung pedih mereka. Rakyat pun sudah lama mengubur harapan uluran tangan tulus pejabat manapun saat mereka menderita. Pemimpin tak dikenal lagi sebagai sosok pengayom. Rakyat sudah lama berjuang sendirian, saling membantu satu sama lain secara mandiri.
Inilah fakta demokrasi. Sistem buatan manusia yang hanya menempatkan negara sebagai wakil rakyat. Wakil yang dibayar untuk menjadi regulator. Hanya menjadi penjaga gawang. Penjaga agar kebebasan tiap individu tidak saling bertabrakan lewat regulasi. Itupun yang dianggap bukan semua individu, tapi mereka yang kuat. Negara sama sekali bukan pemelihara atau pengayom rakyat. Miris, namun inilah realita yang terhampar di bumi Indonesia. Rakyat menangis karena gempa, pemimpinnya tersenyum bangga dalam bursa pemilunya.
Betapa berbeda sosok pemimpin demokrasi ini dengan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Saat beliau melihat jalan yang berlubang, serta-merta Umar memerintahkan untuk menutup lubang itu. Alasannya, “Aku takut Allah akan memintai tanggung jawabku bila ada seeokor keledai terjatuh dalam lubang itu.” Seekor keledai! Hanya seekor keledai dan Umar bin Khattab bergegas menutup lubang, ketakutan pada hisab buruk yang akan menimpanya di hari dikumpulkannya semua manusia.
Di saat lain, kala paceklik melanda jazirah Arab, Khalifah Umar bin Khattab segera membentuk tim yang terdiri atas para sahabat untuk mencatat, menangani, merencanakan bantuan untuk para pengungsi yang datang ke Madinah dan melaporkan kepada Sang khalifah setiap hari. Tidak cukup itu, jumlah orang yang makan di rumah Umar bin Khattab ra. bahkan mencapai 10.000 orang. Pengungsi-pengungsi ini tinggal di Madinah selama masa paceklik. Dan selama itu pula mereka mendapatkan pelayanan terbaik dari pemimpinnya. Lebih lagi, setelah masa paceklik terlewati, beliau memerintahkan agar para pengungsi diantarkan kembali ke kampungnya masing-masing. Bahkan setiap pengungsi dan keluarganya dibekali dengan bahan makanan dan akomodasi lain sehingga mereka pulang dengan tenang dan senang.
Semua ini merupakan wujud ketaatan Umar bin Khattab sebagai amirul-mukminin, (pemimpin umat) pada perintah Rasul-Nya, “Pemimpin itu adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad). Karena itu, wajib disadari oleh seluruh rakyat negeri ini yang sedang berduka, bahwa duka rakyat menjadi duka pemimpinnya adalah elemen mendasar dalam aturan Islam, syariat dari Sang Pencipta manusia dan seluruh alam semesta. Ini adalah ide dasar dan kewajiban bagi setiap pemimpin dalam Islam, yang sangat jauh jarak perbedaannya dengan paradigma pemimpin dalam demokrasi.
Tak akan pernah ada pemimpin yang menangis bersama tangisan rakyat dan menjadi tulang punggung rakyatnya seperti Umar bin Khattab, bila kita masih berharap pada demokrasi. Sungguh, itu hanya ilusi yang harus segera dihentikan.
Sadarilah wahai umat Muhammad, harapan itu hanya akan terwujud bila kita kembali kepada ketaatan yang sempurna kepada-Nya, bila kita mau bertaubat dan melaksanakan semua perintah-Nya. Karena Umar bin Khattab adalah seorang khalifah yang hanya ada dalam khilafah Islam, khilafah yang mencontoh teladan Nabi dan mengikuti para khulafaur-rasyidin, maka hanya dengan mewujudkannya kembali pemimpin dambaan itu akan hadir di tengah kita. Bukan dengan bermimpi namun tetap setia pada demokrasi, tapi dengan aksi nyata berusaha mewujudkan semua syariat-Nya, bertaubat nasuha baik diri masing-masing hingga negara.
Bila pemimpin kita adalah seorang khalifah yang takut sangat pada hisab Rabbnya dan aturan Allah menjadi pedoman kehidupan individu dan negara kita, sungguh saat ini sang khalifah pasti sedang menangis tersedu di atas sajadah, meminta ampun kepada Allah untuk rakyatnya dan dirinya. Bersedih atas semua luka dan nyawa yang ditanggungnya. Lalu bergegas menanggung semua derita Lombok dan menghibur rakyatnya yang saat ini masih trauma. Dia mungkin tak akan bisa tidur, tak sanggup tersenyum. Hingga derita mereka berakhir dan beban dosa di pundaknya telah terangkat.
Tak rindukah kita pada pemimpin yang seperti ini? Maka mengapa masih ragu untuk bertaubat secara utuh menyeluruh kepada-Nya dengan mengembalikan bumi pertiwi ini dalam pengaturan-Nya?
Indah Shofiatin
Penulis Lepas, Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair, Surabaya.
Tinggal di Surabaya