Nabi Khongzi dan Kiai Pewaris Nabi
Nabi Khongzi adalah tokoh dalam keyakinan agama Konghucu. Ia pelanjut Nabi sebelumnya Yao, Shu, Yu, Cheng Tang, Wen Wang, Wu Wang dan Chow Gong. Meski pernah menjadi Perdana Menteri di negeri Lu tetapi Khongzi lebih diakui sebagai guru spiritual. Memiliki murid 3000 baik pangeran maupun rakyat jelata.
Keyakinan agama Konghucu adalah bagian dari hal yang harus dihormati sepanjang Konghucu itu diakui sebagai agama resmi di Indonesia. Diawali masa Pemerintahan Gus Dur dahulu. Etnis Cina adalah penganut utama agama Konghucu di Indonesia. Meski terma Nabi melekat dengan agama Islam, tetapi adalah hak agama lain juga untuk menyebut tokohnya atau guru spiritualnya dengan Nabi.
Masalahnya muncul ketika terberitakan seorang Kiai membuka resmi acara ritual kelahiran Nabi Kongzi tersebut. Kiai yang bukan sembarang Kiai. Ia adalah Kiai Haji Ma’ruf Amin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI, mantan Ketua Umum MUI, dan tentu saja Wakil Presiden RI. Pada dirinya melekat dua predikat, yaitu Wakil Presiden dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI. Sebagai Kiai Haji ia merepresentasikan seorang Ulama. Pewaris Nabi (Warosatul Anbiya).
Ketika Menteri Agama Yaqut Qoumas menyampaikan ucapan selamat pada umat Baha’i dahulu di masyarakat khususnya umat Islam telah timbul pro kontra atau sikap kritis. Kesannya Menag Yaqut itu mengada-ada. Dalam konteks Kongzi pun Kementrian Agama di bawah Menteri Yaqut juga pernah mengucapkan selamat pada ritual wafatnya Nabi Kongzi.
Kini bukan lagi tingkat Menteri Agama tetapi Wakil Presiden. Sayangnya itu adalah seorang ulama bertitel Kiai Haji. Di samping mengucapkan selamat juga memberi kata sambutan dalam acara ritual kelahiran Nabi Kongzi di Pontianak.
Dahulu, bahkan hingga kini, mengucapkan selamat Natal saja masih dimasalahkan menurut syari’at Islam. Apalagi ucapan selamat hari lahir kepada Nabi Kongzi yang asing didengar dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara selama ini.
Kalangan umat dapat memberi penilaian beragam dari yang paling ekstrem yaitu murtad, medium tasyabbuh (ikut-ikutan dan tercemar) hingga yang ringan tasamuh (toleransi). Penilaian yang wajar atas sikap kontroversial. Andai Wakil Presiden bukan Ulama atau Kiai Haji mungkin mudah untuk difahami dan dimaklumi. Namun ini berbeda.
Dalil “Al ulama-u warotsatul ambiyaa-i” itu relevansinya adalah para Nabi dalam agama Islam, bukan sembarang Nabi apalagi Nabi Kongzi. Bapak KH Ma’ruf Amin tentu sangat paham akan hal ini.
Semoga ke depan Pak Kiai dapat lebih berhati-hati dalam menjaga marwah dan muru’ah sebagai Ulama.
M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Keagamaan
Bandung, 24 September 2022