Presiden, Oligarki dan Satgassus
Negara konstitusional formal seperti sudah diacak-acak. Ternyata, ada bayang-bayang institusi pseudo negara di baliknya yang merusak dan menggerogoti negara formal.
Entah, siapa yang merekonstruksi gagasan sangat gila ini, tapi nyatanya “oknum-oknum jahat” yang berada di lingkaran istana.
Presiden Jokowi pun ternyata “manut dan nurut” saja. Presiden Jokowi yang standar-standar saja tingkat intelektualitas akademisnya, tak menjiwai figur ketokohan kenegarawanannya yang sudah ditandem dengan keharusan betapa kokohnya nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 itu diimplementasikan, tetapi malah tak dipandang dan dipanutinya, seperti larut dan hanyut terseret-seret kemudian menjadi terkapar menghadapi derasnya misi dan tujuan maut yang bla-bla dan penuh rayuan gombal para pembisiknya bahwa itu untuk melakukan “terobosan dan lompatan milenial” untuk memajukan negara.
Dua bentuk bayang-bayang institusi pseudo negara yang dibentuk oleh “oknum-oknum jahat, rakus dan serakah” itu di lingkaran istana negara, adalah Oligarki dan Satgassus.
Oligarki yang mendalangi menjadi bandar atau cukong politik yang membiayai murah hanya belasan trilyun Pilpres bakal calon terpilih 2014 pada mulanya — Jokowi kemudian keluar sebagai pemenangnya, adalah para korporasi konglomerasi, yang kemudian menagih janji kompensasi “tanggung rente ekonomi”-nya kepada rezim penguasa Jokowi yang telah dijadikan singasananya, sudah pasti dengan tanpa batas.
Bila perlu diraup seluruh alokasi biaya proyek APBN, dengan cakupan skala PDB bahkan mungkin hingga hak-hak konsesi SDA tambang dan minerba lainnya hingga jangka panjang sekalian.
Bahkan, oligarki itu telah menerobos masuk ke kabinet Presiden Jokowi kemudian bermetamorphosis menjadi jalinan renda indah berupa hamparan permadani merah sebagai simbol jalan pijakan “tahta singgasana” baru para selebritas politik yang membuat dan mencetak konspirasi kerjasama antara kesatuan “penguasa-pengusaha”.
Tanpa ada yang mengawasi, tanpa ada yang menginterupsi, apalagi menentangnya. Jalinan renda indah hamparan permadani merah itu sesungguhnya keniscayaannya bak hamparan kebun “tanaman ganja” yang memabukkan menciptakan halusinasi hedon materialisme kekayaan bermekaran subur dan bertunas hingga sampai ke DPR, MPR, MA, Kejaksaan Agung, dan MK menjadi lembaga-lembaga tinggi yang “para elit feodalis politiknya” bermain bak aktor drama sinetron penuh berkepuraan.
Padahal, pikiran dan jiwanya “melayang-layang”, the fly fly, telah sama-sama kecipratan dan keresapan uap dan asap ganja berupa besaran layak “cuan basah” yang telah sampai mampu menghentikan kinerja panja dan pansus fraksi dan komisi, juga jadi tak peduli lagi menjalankan hak-hak hukum aspirasi rakyatnya .
Atau MA dan Kejaksaan Agung serta MK yang semakin tumpul hukum: semua produk hukum dirajut untuk dan demi kepentingan dan kebutuhan penguasa rezim yang ujung-ujungnya selalu berembel-embel imbalan. Lihatlah UU KPK, UU Omnibuslaw, UU BRIN, UU IKN, dan RUU KUHP, adalah pupuk media tanam yang hasilnya hanya semakin menyuburkan praktik konspirasi, kolusi, dan korupsi di setiap lini penyelenggaraan pemerintahan negara dalam kesehariannya.
Sehingga, muara di ujungnya di tengah begitu sangat carut marutnya jalannya sistem pemerintahan negara berdasarkan Presidensial ini , memang secara de fakto kelembagaan Presiden itu ada dengan segala kewenangan dan pertanggungjawabannya.Tetapi, secara de jure Presiden sesungguhnya tiada. Sistem di bawahnya di seluruh matra bidang secara struktural berjalan seolah liar tak terkendali, semau gue dan sendiri-sendiri, namun sudah pasti “mati” kreasi dan inovasi, seperti tanpa nakhoda dan tak tentu arah. Kecuali satu dalam urusan dana proyek APBN, menjadi rebutan sumber korupsi.