Anies Pejuang, Bukan Petugas Partai Bukan pula Boneka
Setelah purna tugas Gubernur pun, ternyata hujatan dan ujaran kebencian terhadap Anies tidak mereda di media sosial. Bahkan, semakin bertambah deras dan keras, seolah sulit dimengerti dendam kesumat apa yang melumuri jiwa para buzzeRp dan cebong itu.
Padahal, mereka harusnya mengambil hikmah dan pengalaman terdahulu, semakin Anies dihujat, dihina dan dibenci, bahkan difitnah sekalipun. Anies bukannya tumbang dan jatuh hancur justru semakin moncer, bukan?
Lihatlah kini selalu saja muncul tuduhan, hujatan dan ujaran kebencian terhadap Anies yang menyertai wE setiap adanya momentum peristiwa penting bagi Anies:
Mendadak Anies dikriminalisasi secara politik tak tanggung-tanggung oleh lembaga KPK dan pengumumannya pun diinisiasi oleh Firly Bahuri langsung bahwa tengah adanya penyelidikan terkait dugaan Anies korupsi di ajang balapan Formula E.
Aneh! Tanpa penggugat pelapor, artinya tiada pula siapa yang ditersangkakannya, juga atas obyek modus pidana apa yang diperkarakan, Anies tetap saja dipanggil oleh KPK ntahlah sebagai apa, malah disodorkan pelbagai macam pertanyaan yang mungkin tiada pula kontekstualnya.
Momentum dipanggilnya Anies oleh KPK itu berselang hanya beberapa hari setelah bertepatan dengan peristiwa dideklarasikannya Anies sebagai bakal calon Presiden dari Partai Nasdem —padahal faktanya pengeloaan pendanaan balapan Formula E sudah diaudit oleh BPK sampai tiga kali dan Anies dalam pengeloaan keuangan APBD pun lima kali provinsi DKI di sepanjang sejarah Republik ini satu-satunya provinsi yang mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) secara berturut-turut.
Hebatnya, proses kriminalisasi terus berlanjut yang seolah dibuat agar begitu “obyektif” itu sampai disertai pula melalui komentator beberapa ahli hukum dan guru besar dari akademisi segala, salah satunya seperti Prof. Romli seolah turut mengadvokasi pembenarannya. Targetnya, jelas membentuk persepsi publik bahwa Anies tengah menghadapi kemungkinan kasus korupsi.
Tetapi, apa yang direspon oleh publik atas persepsi itu, sebaliknya publik justru akan melawan dan memberontak bilamana Anies sampai ditersangkakan dikarenakan baik secara fakta faktual, data maupun logika berpikir ini jelas tak lebih merupakan upaya kriminalisasi politik semata kepada Anies.
Dan ketika 16 Oktober 2022 di Balai Kota ada acara euforia kesukacitaan pelepasan Anies yang dihadiri ratusan ribu pendukungnya sebagai tanda syukur atas prestasi dan keberhasilannya, di medsos justru viral hal sebaliknya: dikontroversikan dengan acara saat pelepasan Jokowi dan Ahok yang katanya penuh haru biru dengan derai air mata kesedihan, tanpa hura-hura dan pesta pora seperti itu.
Ironis pembeda dua peristiwa dramaturgi itu, justru merekalah yang lupa bahwa acara pelepasan Jokowi itu sesungguhnya hanya menegasikan Jokowi itu berbohong—seperti mesin pencetak kebohongan yang menghasilkan kebohongan pula kesekian kalinya, jelas sudah mengingkari janjinya yang semula akan menuntaskan jabatan lima tahun Gubernurnya, tapi tergoyahkan komitmennya dengan godaan jabatan Presiden di Pilpres 2014.
Secara sinonim sesungguhnya Anies pun sempat ditawari cawapres saat itu oleh Gerindra, tapi Anies tak tergoda, tak bergeming tetap memegang teguh komitmennya untuk terus memimpin Jakarta —kemudian mandat itu diserahkan kepada Sandiaga Uno wakilnya berpasangan dengan Prabowo Subianto mencalonkan berpasangan dalam konstestasi Pilpres 2014 itu.