Aroma Kapitalisasi dan Liberalisasi di Balik RUU Kesehatan
Lima organisasi profesi kesehatan menggelar aksi damai nasional menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law pada Senin (8/5/2023). Kelima organisasi ini, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Aksi damai nasional ini berangkat dari keprihatinan para tenaga kesehatan (nakes) atas RUU Kesehatan yang dinilai terlalu terburu-buru, serta tidak memperhatikan masukan dari organisasi profesi. RUU ini pun memunculkan kekhawatiran para nakes, salah satunya terkait potensi melemahnya perlindungan dan kepastian hukum para nakes jika RUU ini disahkan.
Hal ini pun diungkapkan oleh Ketua PPNI, Harif Fadillah. Dalam sebuah konferensi pers bertajuk ”Setop Pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law)” di Jakarta pada Rabu (3/5/2023), Harif mengatakan bahwa RUU Kesehatan berpotensi memperlemah perlindungan dan kepastian hukum bagi perawat ataupun nakes dan masyarakat, serta mendegradasi profesi kesehatan dalam sistem kesehatan nasional. (Kompas.com, 3/5/2023).
Munculnya RUU Kesehatan Omnibus Law seolah mengulang cerita lama tentang UU Cipta Kerja. Sama-sama terburu-buru dirancang tanpa memperhatikan masukan dari para ahli. Berbuah polemik dan kontroversi. Hingga menuai gelombang deras penolakan. Namun, akankah juga berakhir sama dengan UU Cipta Kerja, meskipun dihantam gelombang deras penolakan bahkan melalui jalan yang berliku, berujung tetap saja disahkan?
Para tenaga kesehatan turun gunung melakukan aksi damai menolak pembahasan RUU Kesehatan memang patut dilakukan. RUU yang lahir dari rahim kapitalisme dan liberalisme ini disebut memuat upaya langkah-langkah sistematis dalam membuka ceruk persaingan bebas dengan tenaga kesehatan asing.
RUU ini disebut akan memberikan kemudahan izin bagi korporasi asing di bidang kesehatan untuk mendirikan rumah sakit di Indonesia, sepaket dengan tenaga kesehatan asingnya. Masuknya korporasi dan tenaga kesehatan asing jelas menjadi ancaman bagi ketahanan nasional bidang kesehatan. Selain itu, pelayanan kesehatan tidak hanya makin komersial, tetapi juga berpotensi mengancam keselamatan pasien.
Dalih transfer ilmu dan teknologi di bidang kesehatan dengan masuknya tenaga kesehatan asing niscaya hanya akan menjadi isapan jempol belaka. Faktanya, seperti yang terjadi dalam bidang ekonomi, liberalisasi ekonomi justru menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi produk ekonomi kapitalis global. Hal yang sama pun bisa saja terjadi di bidang kesehatan.
Potensi perubahan mindset dari health care ke health industry jika RUU ini gol pun dapat menghilangkan substansi utama dari pelayanan kesehatan dan keluhuran profesi, yakni patient safety dan standar nilai moralitas yang tinggi, menjadi berorientasi materi dan untung rugi karena sukses dikapitalisasi. Ujung-ujungnya tidak hanya tenaga kesehatan yang buntung, rakyat pun ikut buntung.
Tidak sedikit pula pihak yang menilai RUU ini memuat upaya-upaya pelemahan terhadap organisasi profesi yang selama ini berfungsi menjaga mutu dan profesionalisme dari profesi kesehatan, sekaligus melindungi masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan.
Berkurangnya peran organisasi profesi jelas membuat kualitas tenaga kesehatan tidak dapat dijamin secara optimal. Apalagi termuat aturan bahwa surat tanda registrasi, yang harus diurus tiap lima tahun sekali, dapat berlaku seumur hidup. Sehingga hilang jaminan bahwa tenaga kerja yang bersangkutan senantiasa memperbaharui keilmuannya. Hal ini berisiko besar terhadap kualitas pelayanan kesehatan yang diterima oleh masyarakat. Kembali, rakyat yang dirugikan.
RUU Kesehatan sejatinya menambah kompleks masalah kesehatan di negeri ini. Meskipun belum disahkan, kapitalisasi kesehatan memang sudah sangat tampak terjadi. Lihatlah bagaimana negara berlepas tangan dalam pelayanan kesehatan rakyat melalui program BPJS Kesehatan atas nama Jaminan Kesehatan Nasional. Alih-alih pelayanan kesehatan dipenuhi oleh negara, rakyat justru harus beriuran untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
Inilah paradigma kapitalisme dalam mengurus rakyat. Negara berperan sebagai regulator bagi kepentingan kapitalis, bukan sebagai pengurus hajat hidup rakyat. Tidak heran jika berbagai regulasi yang lahir senantiasa berpihak pada kepentingan kapitalis, sedangkan nasib rakyat makin terabaikan. Mirisnya, aspek vital seperti kesehatan pun tak luput dikapitalisasi dan diliberalisasi demi mendulang cuan. Alhasil, negara pun makin tampak seperti korporasi besar yang mengeruk keuntungan dari rakyat.
Jaminan kesehatan yang berkualitas, mudah, dan murah bahkan gratis tampaknya hanya utopia belaka dalam dekapan sistem kapitalisme. Sistem ini justru mempersulit rakyat mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas dan murah. Tidak heran jika jargon “rakyat miskin dilarang sakit” pun menjadi lumrah.