Menyoal Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek Kemendikbudristek) mencabut izin operasional 23 perguruan tinggi swasta (PTS) yang bermasalah dalam periode Mei 2022-Mei 2023. Pencabutan izin operasional itu dilakukan untuk melindungi masyarakat dari penyelenggaraan pendidikan bermasalah.
Plt Direktur Jenderal Diktiristek Kemendikbudristek, Nizam, menyebutkan bahwa perguruan tinggi yang dicabut izinnya merupakan perguruan tinggi yang melakukan pelanggaran berat. Misalnya, tidak memenuhi ketentuan standar pendidikan tinggi, melaksanakan pembelajaran fiktif, melakukan praktik jual beli ijazah, dan melakukan penyimpangan pemberian beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K). (republika.co.id, 8/6/2023).
Miris, perguruan tinggi yang semestinya melahirkan lulusan yang berkompeten dan berkepribadian saleh, malah melahirkan praktik-praktik curang yang mencederai tujuan pendidikan. Menambah buram potret pendidikan. Menambah panjang daftar kegagalan sistem pendidikan hari ini.
Mahasiswa yang mengejar ijazah untuk mencari kerja, ternyata menjadi ceruk bagi perguruan tinggi untuk mendulang untung rugi, meskipun dengan cara curang yang tak memenuhi standar perguruan tinggi. Inilah buah sistem pendidikan kapitalisme sekuler yang berlandaskan materi. Menghilangkan idealisme pendidikan, yakni terwujudnya ilmu pengetahuan dan pribadi saleh dalam diri generasi.
Tidak dapat dimungkiri bahwa dalam paradigma kapitalisme sekuler mau tak mau mengarahkan sistem pendidikannya untuk kepentingan ekonomi. Pendidikan bukan lagi untuk ilmu pengetahuan, apalagi untuk membentuk karakter peserta didik. Tidak heran jika berbagai praktik curang seolah menjadi fenomena lazim yang secara tidak langsung dilegalisasi oleh perguruan tinggi.
Keputusan pencabutan izin perguruan tinggi yang melakukan pelanggaran berat jelas menjadi satu keharusan. Namun, sejatinya pencabutan tersebut belum mampu menuntaskan sengkarut persoalan dunia pendidikan selama masih bertahan di atas paradigma kapitalisme sekuler.
Pencabutan izin sejumlah perguruan tinggi pun menambah persoalan baru. Mengingat kebutuhan masyarakat terhadap perguruan tinggi jelas masih cukup tinggi. Sehingga penutupan sejumlah perguruan tinggi pun makin mengurangi peluang generasi untuk berkuliah.
Ironisnya, negara dalam naungan sistem kapitalisme sekuler nyata kehilangan perannya sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Negara yang semestinya wajib menyelenggarakan sistem pendidikan yang berkualitas dan memadai bagi rakyat, faktanya malah menyerahkan pengurusannya kepada pihak swasta. Negara bahkan mendorong masyarakat dan korporasi untuk ikut aktif mendirikan sekolah meskipun dengan biaya tinggi.
Tampak jelas, bahwa negara hanya menjadi regulator bagi siapa saja yang berkepentingan mendulang keuntungan dari sektor pendidikan. Negara bahkan tak segan-segan melahirkan aturan yang memberikan kemudahan syarat untuk mendirikan sekolah atau perguruan tinggi. Inilah yang membuka lebar pintu praktik-praktik ilegal dalam sistem pendidikan kapitalisme sekuler.
Sistem pendidikan kapitalisme sekuler jelas kontras dengan sistem pendidikan Islam. Paradigma Islam memandang bahwa pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Maka menjadi kewajiban negara untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas, mudah di akses, dan murah bahkan cuma-cuma bagi seluruh rakyat. Negara juga wajib menyediakan institusi dan fasilitas pendidikan yang terbaik dan memadai bagi rakyatnya.
Negara wajib menutup berbagai celah yang menjadikan sektor pendidikan sebagai bisnis atau komoditas ekonomi. Sehingga terwujud arah dan tujuan pendidikan sebagai pencetak generasi terbaik yang tidak hanya mumpuni dalam sains dan teknologi, tetapi juga berkepribadian islami.
Adapun pembiayaan penyelenggaraan pendidikan bersumber dari baitulmal yang diambil dari pos fai, kharaj, dan kepemilikan umum. Pembiayaan ini bersifat mutlak, artinya ada atau tidak adanya dana di baitulmal, negara wajib menyediakannya.