Fraksi PKS Tolak RUU Kesehatan Dilanjutkan ke Tahap Berikutnya, Ini Salah Satu Alasannya
Jakarta (SI Online) – Anggota Komisi IX DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Netty Prasetiyani, menyampaikan pendapat mini fraksinya yang menolak Rancang Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Hal tersebut disampaikan Netty dalam Rapat Kerja dengan Menteri Kesehatan RI, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Ri, Menteri Dalam Negeri RI, Menteri Keuangan RI, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (19/06/2023).
Dalam Raker tersebut, Netty menyampaikan sejumlah poin terkait dengan RUU Kesehatan.
Pertama, Fraksi PKS menyampaikan apresiasi yang besar atas keputusan melakukan pembahasan UU Kesehatan ini di Komisi IX yang memang membidangi dan menguasai persoalan tentang kesehatan sehingga cukup banyak diskusi dalam pembahasan pasal-pasal dengan demikian meskipun menurut kami belum ideal akan tetapi sudah terdapat beberapa perbaikan atas draft sebelumnya.
“Semoga perbaikan tersebut dapat segera dilanjutkan dengan perbaikan yang lebih menyeluruh sehingga benar-benar dapat memberikan apa yang dibutuhkan mayoritas masyarakat Indonesia,” jelas Netty.
Kedua, Fraksi PKS juga mengapresiasi diakomodirnya beberapa usulan yang merupakan masukan dari berbagai pihak dalam penyampaian aspirasi kepada Fraksi PKS.
Ketiga, Fraksi PKS berpendapat tidak dimasukkannya mandatory spending kesehatan merupakan sebuah kemunduran bagi upaya menjaga kesehatan masyarakat Indonesia. Mandatory spending terutama dimaksudkan untuk menjamin pendanaan pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin.
Selain itu, lanjut Netty, kebutuhan dana kesehatan Indonesia justru meningkat dari waktu ke waktu karena makin kompleksnya masalah kesehatan di masa mendatang.
Netty menyampaikan, Fraksi PKS berpendapat bahwa mandatory spending merupakan bagian paling penting dalam UU ini, karena semua hal yang dituliskan dalam UU ini sangat tergantung dengan ketersediaan dana untuk pelaksanaannya.
Mengutip kajian Bappenas, yakni Buku Putih Reformasi Sistem Kesehatan Nasional tahun 2022, disebutkan salah satu kendala dalam kemandirian farmasi dan alat kesehatan adalah anggaran penelitian dan pengembangan masih rendah, angka ini lebih rendah dari negara-negara lainnya.
Selain itu, Indonesia menghadapi masalah pemerataan distribusi tenaga medis dan tenaga kesehatan di Indonesia, terutama di bagian timur Indonesia. Kesemua ini dinilai sulit dijamin dengan penghapusan mandatory spending Kesehatan.
“Bukan hanya penyebutan alokasi yang dibutuhkan, akan tetapi sangat dibutuhkan nilai yang cukup agar tidak sekedar ada, karena jika sekadar ada maka tidak akan menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia,” urai Wakil Ketua FPKS DPR RI ini.