RUU Kesehatan Disahkan, Babak Baru Derita Rakyat?
“Sejak awal saya yakin bahwa RUU Kesehatan ini pasti akan disahkan. Jangankan nakes yang demonya ‘gitu-gitu doang’, aksi buruh saja yang jatuh korban kekerasan nggak bisa menahan pengesahan RUU Cilaka. Ini bukan soal hasil, ini tentang saya yang bisa dengan rendah hati berkata, “Saksikan ya, Allah, saya sudah lakukan semua yang saya bisa.”
Cuitan dokter Berlian Idris atau yang terkenal dengan sapaan Dok Bil di akun Twitter resmi miliknya pada Senin, 10 Juli 2023, terus terang membuat warganet terenyuh. Tampak tak berdaya di tengah segala daya upaya yang telah dilakukan untuk menolak RUU Kesehatan. Paham benar bahwa ada tangan-tangan tak terlihat yang berkuasa hingga RUU Kesehatan sukses disahkan.
Ya, di tengah gelombang penolakan RUU Kesehatan, tuan-tuan wakil rakyat sukses mengesahkan RUU Kesehatan menjadi undang-undang pada hari Selasa, 11 Juli 2023. Pengesahan tersebut diketuk palu dalam Rapat DPR ke-29 masa persidangan V tahun sidang 2022-2023.
Dalam rapat tersebut, mayoritas fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU Kesehatan ini. Hanya Fraksi Partai Demokrat dan PKS yang menolak pengesahan RUU Kesehatan tersebut. Sementara di saat yang sama, aksi demonstrasi yang dilakukan oleh lima organisasi profesi (OP) kesehatan terjadi di luar Gedung DPR RI. (CNNIndonesia.com, 11/07/2023).
Mirisnya, saat tuan dan puan wakil rakyat mengesahkan RUU Kesehatan di saat yang sama pula para korporasi kesehatan tengah pesta pora meraup cuan. Dikabarkan bisnis.com, 11/07/2023, tercatat harga saham dari 9 emiten rumah sakit (RS) di Indonesia mengalami kenaikan setelah tuan dan puan wakil rakyat di Gedung DPR RI mengesahkan RUU Kesehatan.
Para oligarki kapital pesta pora. Rakyat makin sengsara. Inilah fakta perih hidup dalam naungan demokrasi. UU Kesehatan yang beraroma kapitalisme dan liberalisme ini niscaya makin menambah sulit rakyat mengakses pelayanan kesehatan yang murah dan berkualitas. Selain itu, tidak sedikit pihak yang khawatir, UU Kesehatan ini tidak hanya membuat pelayanan kesehatan makin komersial, tetapi juga berpotensi mengancam keselamatan pasien.
Di sisi lain, para dokter dan tenaga kesehatan pun dibayang-bayangi dengan potensi melemahnya perlindungan dan kepastian hukum bagi para nakes. Potensi adanya degradasi profesi kesehatan dalam sistem kesehatan nasional pun makin terbuka karena berkurangnya peran organisasi profesi dalam menjamin kualitas tenaga kesehatan. Nasib nakes pun makin suram karena undang-undang ini memiliki upaya sistematis dalam membuka ceruk persaingan bebas dengan tenaga kesehatan asing.
Inilah wajah buruk demokrasi. Ya, katanya demokrasi, faktanya lagi-lagi suara rakyat diabaikan. Pengesahan RUU Kesehatan di tengah gelombang penolakan rakyat seolah mengulang kisah lama di balik pengesahan UU Cipta Kerja. Pilu dan membuat rakyat geram. Mengecewakan dan mencederai demokrasi yang katanya diagung-agungkan oleh tuan dan puan wakil rakyat.
Katanya tuan wakil rakyat, wakilnya suara rakyat, faktanya suaranya tidak sejalan dengan yang dikehendaki rakyat. Para tuan dan puan wakil rakyat justru berambisi mengegolkan berbagai rancangan undang-undang yang justru sejalan dengan kepentingan oligarki kapital. Ambisi ini pun kian memanas di akhir-akhir masa menduduki kursi kekuasaan. Rakyat bukan makin sejahtera, melainkan makin sengsara.
Disahkannya RUU Kesehatan makin membuktikan bahwa kebebasan yang diagung-agungkan demokrasi nyata melahirkan berbagai rancangan undang-undang bermasalah yang menambah derita rakyat. Memunculkan kontroversi dan polemik yang terus berulang hingga aksi penolakan yang terus bergulir. Rancangan undang-undang yang lahir pun kerap kali menimbulkan diskriminasi, konflik, standar ganda, dan ketidakadilan.
Inilah buah pahit produk undang-undang yang dihasilkan dari akal manusia yang lemah dan terbatas. Dipenuhi syahwat dan kepentingan dunia. Sebab, tidak dilandasi ketakwaan pada aturan Sang Pencipta. Alhasil, perlu membangun kesadaran umat bahwa rahim demokrasi adalah biang lahirnya berbagai undang-undang yang tak berpihak kepada rakyat. Sehingga tak lagi layak untuk mengatur kehidupan manusia.
Penting pula membangun kesadaran dalam diri umat bahwa sejatinya hanya Allah SWT, Al-Khaliq Al-Mudabbir, yang berhak membuat seperangkat aturan bagi manusia, “Menetapkan hukum hanyalah hak Allah” (TQS. al An’am [6] : 57). Sebab, sesungguhnya kedaulatan hanya milik Allah SWT, bukan di tangan manusia, sedangkan manusia hanyalah pelaksana bagi tegaknya hukum-hukum Allah SWT di muka bumi.