BKsPPI Dukung Putusan MA Soal Larangan Nikah Beda Agama
Bogor (SI Online) – Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI) mendukung langkah Mahkamah Agung (MA) yang menerbitkan aturan tentang larangan pencatatan perkawinan beda agama.
Larangan pernikahan beda agama tersebut tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan keyakinan.
BKsPPI mendukung penuh keputusan MA tersebut, BKsPPI juga menjelaskan tentang alasan dilarangnya pernikahan beda agama dari berbagai sudut pandang.
Pertama, dalam sudut pandang Islam Pernikahan beda agama dianggap haram atau dilarang.
“Al-Quran secara tegas menyatakan larangan bagi seorang Muslim menikahi seseorang yang bukan Muslim, sebagaimana terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 221: “Dan janganlah kawinkan orang-orang musyrik (yang mempersekutukan Allah) dengan wanita-wanita (Muslimah), hingga mereka beriman.” (QS. Al-Baqarah: 221).” jelas Sekjen BKsPPI KH Akhmad Alim Lc dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu (22/7/2023).
Kedua, dalam sudut pandang psikososial, tujuan dari pernikahan dalam Islam adalah untuk membentuk keluarga yang harmonis dan kokoh dalam iman, serta untuk menghidupkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
“Pernikahan beda agama bisa menghambat tercapainya tujuan tersebut, karena perbedaan keyakinan dan praktik keagamaan dapat menyebabkan konflik dan kesulitan dalam membentuk keluarga yang kuat,” jelas Ustaz Alim.
Ketiga, dalam sudut pandang konstitusi, pernikahan beda agama, telah tegas dilarang di Indonesia berdasarkan SEMA dan berdasarkan UU Perkawinan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 huruf f sejalan dengan Putusan MK No. 68/PUU-XII/2014 dan Putusan MK No. 24/PUU-XX/ 2022. Dalam memahami larangan pernikahan beda agama harus menggunakan teori tematik, hubungan peraturan yang satu dan lainnya.
“Dalam UU Perkawinan, kedudukan perkawinan beda agama dalam sistem hukum di Indonesia adalah tidak sah. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 ayat 1 mengungkapkan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya,” tutur Ustaz Alim.
Menurutnya, SEMA tersebut telah memberikan kepastian hukum bagi masyarakat lintas agama terkait pernikahan beda agama.
“Oleh karena itu agar berjalan efektif, para hakim harus berpedoman pada ketentuan tersebut dengan cara pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan, meski di beberapa pengadilan telah membuat keputusan mengesahkan beberapa pernikahan beda agama,” tandasnya.
red: adhila