Oh, Masjid UI
Tadi pagi, Selasa (12/09) saya shalat subuh di masjid Universitas Indonesia. Rumah saya dengan masjid UI sekitar 2 km. Setelah shalat subuh, biasanya saya dengan Pak Haji D suka tadabbur Qur’an bersama. Seringnya hanya berdua. Karena ingin orang lain yang datang ke masjid ikut mendengarkan, maka kita pakai mic bersama.
Hari ini saya terkejut. Karena seorang petugas masjid menegur kami agar tidak memakai mikrofon. Kita nurut saja.
Bulan Ramadhan lalu, hampir sama kejadiannya. Ketika usai shalat subuh di situ, pak haji D mendekati saya. Karena dilihatnya tidak ada yang mengisi ceramah subuh, ia menyuruh saya maju ke mimbar untuk ceramah. Saya pun ceramah. Di tengah-tengah ceramah, mikrofon dimatikan.
Usai ceramah, seorang satpam mendekati saya dan pak Haji D. Mereka memprotes saya ceramah tanpa izin pengurus. Kita akhirnya menjawab bahwa kita menggunakan kesempatan berkumpulnya jamaah. Jamaah yang saat itu sekitar 30an tidak ada yang maju sebagai penceramah. Daripada mimbar kosong, kita isi dengan ceramah. Saya juga menambahkan bahwa saya maju karena disuruh oleh pak Haji D.
Pak Haji D adalah alumni UI. Umurnya 70 tahun lebih. Rumahnya dekat masjid UI. Tiap shalat lima waktu ia ‘selalu’ mendatangi masjid UI. Ia saya anggap senior di masjid itu.
Nampaknya saya memang dikenal oleh pengurus masjid UI. Sekitar dua tahun lalu, saya pernah dipanggil Pembantu Rektor III UI di masjid itu. Waktu itu saya ditanya tentang tulisan saya yang memprotes kebijakan rektor yang memindahkan aktivis mahasiswa masjid UI dari masjid. Aktivis-aktivis mahasiswa masjid itu dipindahkan ke Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI. Sehingga kini tidak ada mahasiswa yang menginap lagi di masjid UI.
Dalam tulisan di FB (yang kemudian menyebar) itu, saya protes. Karena Rasulullah Saw mendorong pemuda (mahasiswa) untuk dekat dengan masjid, tapi kenapa rektor memindahkannya ke Pusgiwa.
Sekitar satu jam saya diskusi dengan pembantu rektor itu yang kebetulan pernah menjadi dosen saya di Program Kajian Timur Tengah dan Islam. Kita membahas bersama tentang gerakan-gerakan Islam di Indonesia dan dunia.
Dalam diskusi dengan Dr MLZ itu tidak ada sama sekali ia melarang saya menulis atau bicara di masjid UI. Diskusi berjalan menarik dan pisah dengan baik-baik.
Saya terus terang sedih dengan sikap pengurus masjid UI terhadap saya dan pak Haji D. Mestinya pengurus masjid UI memahami perbedaan pendapat dalam Islam. Rasulullah Saw biasa melihat sahabatnya berbeda pendapat dalam suatu masalah. Selama perbedaan itu tidak menyentuh masalah mendasar dalam akidah dan syariah mestinya disikapi dengan bijak bersama.
Saya dan Pak Haji D cinta masjid, termasuk masjid UI. Semoga kita semua -termasuk pengurus masjid UI- dapat menghidupkan masjid UI sehingga para mahasiswa Muslim cinta dengan masjid. Begitulah pesan Rasulullah Saw kepada kita semua.
Nasihat Rasulullah Saw, “Ada tujuh golongan yang dinaungi Allah pada hari kiamat, pada saat tiada naungan kecuali naungan-Nya: (1) pemimpin yang adil, (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah, (3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah. (6) seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan tangan kanannya. (7) seseorang yang berzikir kepada Allah dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR Bukhari Muslim). []
Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik