Kampanye Konstitusional atau ‘Barbar’?
Semenjak proses pembentukan koalisi partai dan paslon Presiden. Terutama dari faksi kubu partai eks koalisi oligarki pendukung pemerintahan Jokowi itu. Sudah banyak menuai intrik, friksi, dan konflik.
Diwarnai pula tragedi kecurangan dan keculasan di panggung dramaturgi. Para artis elite politiknya yang bermain — di antaranya Gerindra, Golkar, dan PAN ditambah 6 partai gurem lainnya—mengenakan topeng keberpuraan. Serempak begitu apik dan lincah mereka melakukan sinetronisasi politik itu.
Jadilah! Keniscayaannya yang dahulu lawan menjadi kawan. Semula sekutu jadi musuh.
Siklus politik sedemikian itu terus-menerus berputar bak kemidi putar di pasar malam yang penuh hiruk pikuk dan ricuh.
Bagi sebagian publik, pertunjukkan kotor politik itu tidak saja begitu memusingkan.
Bahkan, membuat sangat mengecewakan:
Kekuasaan negara dijadikan kancah ajang perebutan kekuasaan untuk menjadi tuan besar bagi dirinya sendiri. Lupa atau sengaja dibuat luput bahwa mereka itu tidak lebih dari sekedar pelayan rakyat.
Sehingga, kini antara PDIP dengan Gerindra pun yang semula sangat kental berkarib. Sampai dipropagandakan sebagai simbol “hasil rekonsiliasi elit politik” yang sangat dibanggakan oleh mereka sendiri dalam kancah analogi kebersatuan. Malah, jadi mulai ada keterbelahan. Ada jurang dan jarak mulai dalam. Kenapa?
Yang jelas, gegara akrobatik cawe-cawe politik, The King of Influencer Jokowi.
Satu pengaruhnya dari segala kegilaan di akhir pentas panggung tragedi dramaturgi itu, adalah tak disangka dan dinyana justru melahirkan politik dinasti baru yang sesungguhnya sudah sedemikian berlapis tebal.
Soalnya, sudah ada lapis dinasti politik Soekarno. Ada pula lapis dinasti politik SBY.
Maka, tantangan memunculkan kemurnian dan kejernihan kembali demokrasi ke depan bagi negeri ini akan semakin sulit. Karena terkarati oleh betapa begitu tebalnya lapisan politik dinasti itu.
Yang sangat mengerikan yang berbeda di lapis politik dinasti Jokowi itu dibentuk dengan penerabasan, ugal-ugalan dan kebablasan atas nama kekuasaan otoritarian.