Nasrani di Sekeliling Rasulullah Saw
Pendeta Bahira menyatakan bahwa tanda di pundak Muhammad Saw dan fenomena alam yang tidak biasa merupakan di antara tanda telah datang zaman penggenapan nubuat Taurat dan Injil.
Sekitar 30 tahun setelahnya, Waraqah bin Naufal bin Asad membenarkan wahyu yang turun kepada Rasulullah Saw di Gua Hira. Waraqah menyatakan bahwa itu adalah Namus, dia yang Allah turunkan kepada Nabi Musa as.
Bahira dan Waraqah bin Naufal bukan pemeluk Nasrani biasa. Keduanya berasal dari kalangan rahib dan cendekia. Bahira adalah seorang rahib yang tinggal di sebuah biara penuh dengan kitab-kitab. Begitu pula dengan Waraqah. Aktivitas Waraqah hingga di masa tuanya adalah membaca dan menyalin kitab Injil dan kemungkinan besar juga Taurat, karena Injil dan Taurat sangat berkaitan.
Sebelum kemunculan Rasulullah Saw, masing-masing dari kedua golongan Ahli Kitab ini mengeklaim, nanti Nabi itu akan membenarkan Yudaisme dan mengenyahkan Nasrani. Di satu sisi lainnya, Nasrani juga berharap hal yang sama, nanti Nabi itu akan memihak pada Nasrani dan menepis tuduhan dan makar Yahudi.
Kaum Yahudi menantikan Sang Mesias yang akan memiliki kekuatan politik dan militer untuk mengembalikan kejayaan Israel dengan menegakkan hukum Taurat. Mereka berharap Nabi itu akan muncul mengembalikan kejayaan Israel Raya (Eretz Yisrael). Ini adalah salah satu sebab mereka menolak Nabi Isa as. Sebab bagi kaum Yahudi, Nabi Isa as tidak mumpuni untuk mengembalikan kejayaan Israel dan tidak memimpin kaum Yahudi untuk lepas dari cengkeraman peradaban pagan Romawi di Syam.
Meski ada yang menerima kenabian Nabi Muhammad Saw, ada juga penulis Kristen yang menolaknya. Di antaranya adalah Theophanous (758-817M). Ia menuduh Rasulullah terkena penyakit epilepsy.
“Muhammad menderita penyakit epilepsy. Ketika istrinya (Khadijah) menyadarinya, dia merasa sangat sedih karena dirinya yang berasal dari keturunan bangsawan terikat dengan seorang pria yang tidak hanya miskin tapi juga epilepsy. Istrinya mencoba menenangkannya dengan kata-kata berikut, ”Aku melihat sebuah penglihatan dari malaikat bernama Jibril dan tidak tahan ketika melihatnya, aku merasa lemah dan jatuh. Tetapi dia memiliki teman seorang pendeta (Waraqah) pendeta yang telah dikucilkan (oleh komunitas Kristen) karena iman palsu, jadi dia menceritakan segalanya padanya, termasuk nama malaikat itu. Dan si pendeta itu menenangkannya dan berkata kepadanya, ”Dia telah berbicara benar, karena malaikat ini diutus kepada semua Nabi.” (halaman 256)
Di abad ke-18 M, sarjana Barat mulai mementahkan tuduhan ini. Seorang sejarawan Inggris bernama Edward Gibbon yang menulis karya monumental enam jilid berjudul The History of the Decline and Fall of the Roman Empire mengomentari narasi Theophanes tentang teori epilepsy di atas sebagai tuduhan yang tidak masuk akal dari orang-orang Yunani.
Owsei Temkin, seorang professor Sejarah Pengobatan dari John Hopkins University AS, menulis, ”Theophanes menceritakan sebuah kisah yang kemudian diadopsi oleh para sejarawan, teolog dan para doctor di Barat. Kisah ini memiliki semua elemen propaganda agama dan motif politik…Mengenai asal usul diagnosis epilepsy, semua menunjukkan sikap Kekaisaran Kristen Bizantium yang bermusuhan dengan Islam seiring peperangan dengan bangsa Arab. Kurang dari 200 tahun setelah kematian Muhammad, sejarawan Bizantium Theophanes menceritakan sebuah kisah yang mengesankan bahwa Muhammad itu penipu.”
Ilmuwan Islam, Dr Jamal Badawi juga mengecam keras tuduhan Theophanes itu. Ia menulis, ”Studi dan penelitian yang jujur dan logis tentang sejarah dan karakter Muhammad Saw tidak akan menghasilkan sedikitpun ruang untuk meragukan klaim Muhammad sebagai Nabi dan penerima wahyu Ilahi. Tidaklah masuk akal apabila dikatakan, Al-Qur’an yang telah menghasilkan perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan mulai dari spiritualitas, moralitas, hubungan sosial, ekonomi hingga revolusi politik, yang telah mengubah jalannya sejarah, hanyalah produk dari kondisi kejang-kejang karena penyakit epilepsy.”
Al-Qur’an menyatakan, ”Berkat nikmat Tuhanmu (wahai Muhammad) engkau sekali-kali bukanlah orang gila.” (Al Qalam 2).
Kegilaan tidak akan mendorong munculnya peradaban ilmu dengan perpustakaan, universitas, kota-kota megah, dan ratusan ribu kitab ilmu pengetahuan. Kegilaan tidak akan mengubah peradaban manusia menjadi lebih waras, yakni menjauhkan manusia dari menyembah manusia, patung, batu dan api. Kegilaan juga tidak akan berujung pada perintah untuk memuliakan orang tua, tamu, fakir miskin dan yatim. Kegilaan tidak akan mampu menghalau manusia ari perangkap LGBT. Justru sebaliknya perbuatan kaum Nabii Luth as yang melampaui batas itu merupakan satu bentuk kegilaan.