NUIM HIDAYAT

Jujurlah dalam Berdemokrasi

“Mereka akan menyorotimu dengan tajam, sebagaimana kamu menyoroti penguasa sebelummu dengan tajam pula” (Nasihat Sayidina Ali kepada Malik Asyitar Gubernur Mesir)

Tahun 2019 lalu, ketika terjadi persidangan di Mahkamah Konstitusi tentang tuduhan kecurangan pilpres 2019, ada kejadian yang menarik. Ada seorang saksi yang menyatakan bahwa dalam sebuah pertemuan, Moeldoko pernah menyatakan bahwa kecurangan adalah bagian demokrasi.

Moeldoko adalah kepala staf presiden Jokowi. Peranannya sangat penting dalam pemerintahan sekarang. Jangan heran bila ia dengan cepat menanggapi gerakan pemakzulan Jokowi oleh Eep Saefullah Fatah dkk. Ia menyatakan siap pasang badan untuk mempertahankan presiden dan sebagai prajurit ia biasa mempertaruhkan nyawa.

Kini nampaknya kecurangan pemilu terulang kembali di 2023-2024 ini. Bantuan sosial, bantuan untuk keluarga tidak mampu, digulirkan deras akhir-akhir ini. Bantuan negara, bantuan dari uang rakyat, diklaim sebagai bantuan Jokowi dan pasangan capres yang didukung istana (Prabowo Gibran). Hal itu diungkapkan oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.

Selain itu ada juga rekayasa para kepala desa agar mendukung Paslon 02. Tentu bagi aparat kepala desa yang mendukung Jokowi akan ada imbalannya.

Kecurangan yang paling nyata adalah diloloskannya Gibran (umur belum 40 tahun) sebagai cawapres melalui keputusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Kehormatan MK sendiri menyatakan bahwa keputusan ini melanggar etika.

Sistem demokrasi yang menempatkan pemilu sebagai sarana untuk memilih pemimpin, memang rawan kecurangan. Pembagian uang atau sembako untuk memilih Paslon terjadi dimana-mana. Bagi masyarakat kota mungkin pembagian uang ini tidak masalah. Karena mereka berani untuk memilih calon lain yang tidak membagi bagi uang. Tapi bagi masyarakat desa yang seringkali menggunakan perasaan, mereka merasa tidak enak pilih calon lain di luar yang memberinya kenangan (sembako/uang).

Bila kejujuran sudah dihilangkan dalam proses pemilu, maka kecurangan atau ketidakjujuran pun akan terus berlanjut setelah pemilu. Kecurangan atau kebohongan akhirnya menjadi kebiasaan. Dan itulah yang terjadi di istana dan dalam perjalanan pilpres 2024 ini.

Umat Islam yang diwakili oleh tokoh-tokoh Islam dalam Partai Masyumi 1945, memilih demokrasi karena mereka melihat demokrasi adalah sistem yang cocok untuk masyarakat Indonesia. Mereka menginginkan keadilan, kejujuran dan keterbukaan dalam demokrasi. Mereka menginginkan nilai-nilai agama (Islam) masuk dalam sistem ini. Mereka tidak setuju dengan sistem kerajaan atau sistem otoriter satu partai seperti negara China.

Demokrasi yang diwarnai nilai Islam ini juga membawa perdamaian dan toleransi kepada agama-agama lain.

Bila Jokowi dan koalisinya terus menerus berbuat curang, maka bukan mustahil setelah ia lengser, rakyat akan menghukumnya. Rakyat akan membawanya ke sidang pengadilan. Meski belum pernah terjadi di negeri ini presiden dikenai sanksi pidana.

Tapi yakinlah Gusti Allah mboten sare. Allah Yang Maha Kuasa tidak tidur. Kecurangan akan membawa kerusakan dan kekalahan. Kebenaran boleh dikalahkan sementara, tapi tidak selamanya. Kebenaran akan menang dalam peperangan, meski suatu waktu kalah dalam pertempuran.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

BACA JUGA
Close
Back to top button