SUARA PEMBACA

Indonesia Darurat Judol

Judi online di negeri ini kian subur. Sebuah permainan yang ketika kalah membuat pelaku penasaran, dan ketika menang tidak akan menjadikan pelaku puas. Judi online (judol) bahkan menjadi aji mumpung untuk mendapatkan harta secara instan, meski sering kali berakhir buntung.

Penikmatnya dari pejabat, wakil rakyat, intelektual, rakyat jelata hingga anak-anak. Tidak heran, promosi permainan ilegal itu menyusup ke ribuan situs pemerintahan hingga lembaga pendidikan, bahkan iklannya mengepung di berbagai media sosial.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat, sepanjang 2023 mencapai Rp 327 triliun. Ini menandakan ada peputaran uang yang sangat besar di sektor non riil karena judi online. Kerugian non meteri sebagai dampak dari judi online tentu jauh lebih besar lagi.

Menurut PPATK, transaksi judol di Indonesia selama tiga bulan, Januari-Maret 2024 telah mencapai Rp100 triliun. Bila dijumlahkan dengan transaksi judol dari tahun-tahun sebelumnya, jumlahnya bisa mencapai Rp600 triliun.

Kemenkominfo mengatakan ada 2,7 juta warga RI terlibat judol. Pemain judol mayoritas didominasi anak muda usia 17-20 tahun. Bahkan aparat penegak hukum (APH) pun ada yang ikut-ikutan. Kasus suami polisi yang dibakar istrinya yang juga polisi beberapa waktu lalu juga karena judol. Terbaru, seorang Perwira TNI diduga menggelapkan duit milik satuan Rp 876 juta buat judol.

Judi online telah menjadi candu yang merusak hidup dan masa depan generasi. Setidaknya judol menyebabkan 1.191 rumah tangga pada 2023 berujung perceraian, terjerat lingkaran setan utang pinjaman online (pinjol), hingga bunuh diri karena utang. Belum lagi data pribadi pelaku judol kerap diperjualbelikan, itulah di antra fakta miris judi online.

Indonesia darurat judol. Bahkan ada media yang menempatkan pada urutan pertama tingkat dunia. Tentu ini bukan sebuah prestasi, melainkan suatu bukti bahwa judi online bukan hanya menjadi maslah individual tapi sudah menjadi polemik yang bersifat sistemik. Kenyataanya, para bandar, uang taruhan yang terus bertambah hingga aktivitasnya sulit dihentikan, membuktikan ini adalah problem yang terkait sistem hidup yang melingkupi.

Kehidupan Sekuler-Kapitalistik

Bukan hal yang aneh, hidup dalam arus liberalisme menjadikan manusia merasa bebas untuk menentukan baik dan buruk, benar dan salah. Paham sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan telah melahirkan manusia-manusia serakah yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan materi.

Paham ini pula yang menempatkan konsep bahagia yang salah kaprah, dengan menjadikan nilai materi sebagai nilai tertinggi yang harus diraih dalam kehidupan. Maka sangat wajar, bila judol marak di tengah penerapan sekularisme kapitalistik yang memang memiliki daya rusak dan merusak.

Meski telah ada penertiban perjudian, pasal 303 KUHP yang dipertegas dengan UU No.7 1974, yang di dalam pasal 1, mengatur semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Namun, ironinya. Meski secara eksplisit hukum menegaskan bahwa segala bentuk “judi” telah dilarang tegas dalam undang-undang, namun segala bentuk praktik perjudian menjadi diperbolehkan jika ada “izin” dari pemerintah.

Lantas, bagaimana negara bisa tuntas memberantas, jika masih memfasilitasi perbuatan haram tersebut? Bukankah ini bukti bahwa penguasa hari ini masih setengah hati dalam menyikapi judi online meski dampaknya sudah sangat membahayakan?

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button