NASIONAL

Didin Damanhuri: Dua Tahun Terakhir Ada Teater dari Pemimpin yang Ambisius

Jakarta (SI Online) – Ekonom Senior INDEF Prof. Didin S. Damanhuri mengatakan, masalah moral berbangsa yang kompleks dan berat kini sedang melanda Indonesia.

Didin juga mengungkapkan, dalam dua tahun terakhir, ada teater dari pemimpin yang ambisius ingin berkuasa selama tiga periode yang gagal.

Bukan hanya itu. Ada lagi upaya penundaan pemilu yang juga gagal dan akhirnya ditempuh dengan merekayasa MK dan KPU sehingga terpilihlah Gibran Rakabuming Raka, sang anak, menjadi wakil presiden dengan segala kontroversinya.

Setelah pemilu 2024, lanjut Didin, ada gugatan tentang Pilpres yang disebutkan penuh kecurangan, dengan segala bukti yang disampaikan. Namun pada akhirnya MK memutuskan bahwa Hasil Pemilu 2024 sah meski ada tiga dissenting opinion dari hakim MK.

“Muncul ekosistem politik yang sungguh buruk secara moralitas, ketika Airlangga Hartarto dipaksa mundur sebagai Ketua Umum Golkar. Spekulasi yang beredar yang bersangkutan telah dipanggil oleh Jokowi dan berdiskusi selama dua jam, dimana akhirnya Airlangga memilih mundur sebagai ketua Golkar dan ajaibnya pemanggilan dirinya oleh Kejaksaan menjadi batal,” tutur Didin dalam diskusi bertajuk “Kemerdekaan dan Moral Politik Pemimpin Bangsa” yang digelar secara daring, Senin (19/08/2024).

“Juga kasus lain seperti pemaksaan membuka jilbab kepada 18 wanita Paskibraka oleh BPIP padahal pada tahun-tahun sebelumnya dibolehkan” tambahnya.

Guru Besar Universitas Paramadina itu mengungkapkan, hal tersebut merupakan ilustrasi gambaran terjadinya krisis moral kepemimpinan yang berdampak sangat luas selama 10 tahun terakhir.

“Dengan berbagai peristiwa yang memperlihatkan terjadinya pelanggaran etik berat misalnya oleh ketua MK yang meloloskan Gibran, juga ketua KPU yang berbuat hal sama,” imbuhnya.

“Niccolo Machiavelli dalam bukunya ‘Il Principe’ menyatakan terjadinya kekuasaan yang menghalalkan segala cara. Kondisi krisis moral dalam kepemimpinan saat ini yang tanpa preseden dalam sejarah bangsa, juga berbarengan dengan krisis moral yang terjadi pada masyarakat itu sendiri,” kata Didin.

Secara singkat Didin menuturkan setelah 10 tahun, nampaklah bahwa gejala otoritarianisme baru muncul dengan diberangusnya tokoh-tokoh kritis partai politik begitu juga civil society yaitu dengan cara merekayasa hal tertentu agar sosok seperti Anies Baswedan bisa dihalang-halangi untuk menjadi pesaing politik. Dampaknya, terbangun suasana ketakutan pada pers, tokoh parpol, dan hilangnya kontrol oleh civil society.

Dalam Machiavelian politik juga berdampak pada ekonomi di mana semua kekuatan civil society ditentukan dengan rekayasa tertentu, termasuk di dalamnya penawaran konsesi tambang.

“Kebijakan ekonomi pun lebih pada pendekatan kekuasaan yang alokasi APBN pun diarahkan pada besarnya proyek-proyek mercusuar seperti IKN, kereta cepat, yang berdampak pada semakin tipisnya ruang fiskal yang tersedia,” tegas Didin.[]

Back to top button