RESONANSI

Raja Jawa

Negeri ini NKRI. Kesatuan Republik. Jangan asal njeplak dari lidah tak bertulang orang bermuka tebal penjilat, seperti Bahlil Lahadalia saat pidato di Munaslub Golkar yang mengangkatnya menjadi ketua umum semalam, seolah menakuti-nakuti rakyat bahwa di perhelatan politik akbar ini ada “Raja Jawa”: “Jangan main-main, kita bisa celaka.”

Pernyataan ini sungguh sangat menyinggung perasaan secara langsung —- tidak saja ke seluruh hati rakyat, tetapi juga kepada para raja yang pernah ada hingga merunut menurut silsilah hereditasnya kini. Termasuk, Raja Jawa ‘beneran’ Raja Agung Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit yang justru mampu mempersatukan Nusantara.

Semenjak Republik ini memproklamirkan diri merdeka: mereka —para raja dan kerajaan —telah bersepakat secara bermusyawarah dan bertakzim dengan tulus ikhlas dan dengan segenap kemurnian hati, jiwa dan raga, serta tahta dan harta segala dan seluruhnya dikorbankan demi melebur ke NKRI.

Ucapan si bahlul cecunguk Bahlil Ini sudah keterlaluan. Suatu bentuk sentimen bagi perendahan, pelecehan dan penghinaan terhadap harkat, martabat dan harga diri negara, bangsa dan rakyat kepada Republik.

Yang selama ini Republik sudah selalu menjaga dan menghormati serta menghargai raja dan kerajaan itu sebagai asset tak ternilai sejarah beserta seluruh selaksa kekayaan legacy-nya.

Raja atau Raja Jawa itu nyatanya secara legitimasi politik itu sudah tidak ada. Pidato Bahlil yang cecere jongos “Raja Jawa” dipersonifikasikan seolah ada: semata-mata hanya pamer dan unjuk gigi ketidaknalaran kekuasaan serakah dan rakus bentuk keberwujudan otoritarianisme.

Watak, karakter dan perilaku yang menunjukkan kesombongan, keangkuhan dan keegoisan: legitimasi dan hegemoni kediktatorannya hanya dibuat supaya rakyat menjadi takut, no freedom of fear.

Dan tak usahlah personifikasi “Raja Jawa” itu ditutup-tutupi dan dijadikan monster penguasa yang sesungguhnya sebagai pembegal, penjegal dan perampok rakyat: siapa lagi kalau bukan Joko Widodo!

Sebenar-benarnya Jokowi menjabat Presiden itu memang telah diselewengkan dan dilacungkan malah menjadi raja maha diraja.

Tumbuh dan besar dari semula prereferensi politik “Wong Cilik” yang idenya diadagium oleh PDIP, tetapi kemudian bangsa ini “keleru lan kecelek dengan segala pencitraan yang berada dilorong-lorong gelap gorong-gorong berubah menjadi Wong Licik.

Wong Cilik jadi Wong Licik yang memang bodoh dan menjadi bajingan tolol tanpa ijazah, adalah miskin kognisi intelektual dan morality hazard, serta tipisnya perasaan a nation state building akan mudah goyah digoda dan tergoda melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dengan para penguasa lacur bisnis oligarki korporasi konglomerasi —yang ujung-ujungnya lacuran dan lacungannya itu saling berebut memanggul gentong babi berisi duit: sehingga mewabah ke suprastruktur lembaga-lembaga tinggi negara baik di lembaga legislasi (DPR) maupun yudikasi (Kejaksaan Agung, MK, MA dan Polisi).

Bahkan, lebih apa lacur dan lacung lagi, adalah di Kabinet Penguasa-Pengusaha tambang, adalah tergabung tidak saja Raja Jawa, tetapi juga Raja lain Raja Kalimantan, Raja Papua, Raja Malut Halmahera, dsb.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button