Dikadali Demokrasi?
Tulisan ini diramu di tengah gemuruh riuh suara mahasiswa, politisi, hingga masyarakat sipil baik di dunia nyata maupun dalam gawai-gawai mereka, ramai menyuarakan keadilan atas Revisi UU Pilkada yang menghebohkan. Satu lagi pengkhianatan penguasa atas rakyat sebab ketamakan. Meski Revisi UU ini telah batal disahkan oleh DPR, namun tidaklah berlebihan kiranya, jika setiap elemen masyarakat dan aktivis mahasiswa tetap waspada dan terus mengikuti perkembangannya.
Penguasa dengan segala kekuatan dan kekuasaannya telah memperdaya rakyat dengan mengakali sistem pemerintahan ini. Tapi bukan semata soal itu, fakta atas upaya pengkhianatan dan ketamakan akan kekuasaan yang terus berulang membuat kita sampai pada pertanyaan, benarkah ini hanya soal penguasa yang bermasalah dan bukan pada sistem pemerintahannya? Masih layakkah sistem demokrasi ini dipertahankan? Ataukah ada alternatif sistem yang lebih pantas untuk diperhitungkan?
Pembagian kekuasaan menjadi tiga komponen utama, legislatif, eksekutif, dan yudikatif seperti dongeng kekuasaan yang ideal. Tapi realitasnya, bak seperti khayalan. Faktanya, konsep seperti ini bisa dengan mudah diakali dan kembali pada konsep autokrasi, kekuasaan absolut atas negara terkonsentrasi di tangan penguasa. Penguasa telah menyebar jaringnya pada setiap komponen penting yang bisa memuluskan kepentingannya. Bukan kali pertama, nyatanya demokrasi memang kini semakin nyata menjadi alat bagi penguasa tamak dan tak berperikemanusiaan dari masa ke masa.
Demokrasi secara sederhana telah dipraktikkan di Athena, Yunani Kuno, sekitar abad ke-5 SM. Di sana, warga negara laki-laki dewasa berkumpul dalam majelis untuk membuat keputusan politik secara langsung.
Demokrasi dalam bentuk sederhana ini sudah menenteng kritik dari Socrates dan Plato. Dalam Plato’s Republic, Socrates mengajukan analogi bahwa memberikan kekuasaan kepada orang yang tidak berpengetahuan untuk memerintah sama dengan membiarkan seorang yang tidak tahu tentang navigasi untuk mengemudikan kapal. Demokrasi, dalam pandangannya, berisiko menghasilkan keputusan yang buruk karena rakyat biasa mungkin tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk membuat pilihan politik yang bijaksana.
Menurut Plato, demokrasi cenderung menghasilkan pemimpin yang pandai memanipulasi opini publik dan memenuhi keinginan rakyat yang tidak bijaksana, bukan pemimpin yang bijak dan berbudi luhur. Plato lebih menyukai bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh para “filsuf-raja,” yang dipilih berdasarkan kebijaksanaan dan kearifan mereka, bukan popularitas.
Seiring dengan perkembangannya, tidaklah berlebihan kiranya jika dikatakan Pemikiran Pencerahan dan Revolusi Prancis yang telah banyak berperan dalam mempengaruhi demokrasi modern saat ini. Prinsip sekularisme (pemisahan aturan agama dari kehidupan), kebebasan individu, serta prinsip kedaulatan rakyat adalah yang paling menonjol. Pemikiran Pencerahan dan Revolusi Prancis memainkan peran kunci dalam membentuk prinsip-prinsip sekularisme dan kebebasan yang menjadi landasan demokrasi modern.
Tidak dinafikkan, trauma masyarakat Eropa atas kesewenangan gerejawan dan penguasa saat itulah yang melandasi terjadinya kebangkitan berpikir di Eropa. Mereka kecewa dan tidak terpuaskan dengan pengaturan gereja atas kehidupan mereka yang justru membawa pada keterbelakangan. Di saat yang sama, dunia timur di bawah kekuasaan Islam justru tengah terang benderang dengan gemerlap ilmu pengetahuan dan segenap kemajuannya. Inilah yang melandasi _The Enlightment._
Lantas menjadi ruh demokrasi modern, sekuler dan berporos pada kebebasan. Sekularisme di Barat membawa Eropa pada kebangkitan dan kemajuannya. Sebaiknya, sekularisme yang melandasi demokrasi modern menjadi racun mematikan bagi dunia Islam dan kaum muslimin.
Demokrasi bukan sekadar metode untuk mengangkat penguasa, pun bukan sekadar musyawarah untuk mufakat yang selalu diagungkan dan kononnya sebab itulah dia sejalan dengan prinsip Islam.
Pada dasarnya sistem ini memang problematik. Di antara banyak titik cela demokrasi, ada dua hal mendasar yang perlu kita soroti. Pertama, ialah asas sekularisme sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Bagaimana mungkin mengharapkan pengaturan kehidupan yang teratur, mulia, terhormat, jika sedari awal memang sudah menyendirikan kotak untuk Tuhan. Tuhan hanya berhak menciptakan dan tidak berhak mengatur kehidupan manusia.
Sungguh, hanya kecacatan berpikir yang menghasilkan pemikiran demikian. Sebab Islam tidak seperti agama yang lainnya. Islam turun sebagai sebuah cara pandang kehidupan beserta seluruh aturannya, bukan lantas memberikan manusia kebebasan mutlak mengatur hidupnya. Kedaulatan tertinggi ada di tangan Allah. Allah berfirman: