Menyoal Tunjangan Rumah Para Wakil Rakyat
Baru juga dilantik, para wakil rakyat sudah menuntut tunjangan lagi. Ibarat kata, belum juga bekerja menjadi wakil rakyat, sudah meminta bayaran dari uang rakyat. Sungguh ajaib memang polah tingkah mereka. Alih-alih segera fokus membela kepentingan rakyat, justru tak sabar memperkaya diri. Katanya wakil rakyat, kok tak segera mewakili aspirasi rakyat.
Ya, wacana pemberian tunjangan rumah bagi para wakil rakyat santer terdengar belakangan ini. Hal ini pertama kali dilontarkan oleh Sekretariat Jenderal DPR RI, Indra Iskandar. Menurutnya, rumah dinas yang disediakan oleh negara sudah tidak lagi layak huni. Ia pun mengklaim bahwa merenovasi rumah dinas hanya akan memakan biaya yang mahal. Sehingga fasilitas rumah dinas ini diganti dengan skema tunjangan perumahan.
Wacana ini tertuang dalam surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024 pada 25 September 2024. Dalam surat ini disebutkan bahwa anggota DPR RI periode 2024-2029 akan diberikan Tunjangan Anggota Perumahan dan tidak diberikan fasilitas Rumah Jabatan Anggota (RJA). Angka pasti tunjangan ini memang belum ditentukan, tetapi kabarnya berkisar dari Rp50 juta hingga Rp70 juta per bulan.
Wacana tunjangan rumah para wakil rakyat ini jelas menuai kritik pedas dari masyarakat. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Seira Tamara, mengungkapkan bahwa menurut ICW, kebijakan tersebut merupakan bentuk pemborosan uang negara dan tidak berpihak pada kepentingan publik. ICW mencatat total pemborosan anggaran negara untuk membiayai tunjangan ini berkisar dari Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun.
Ironisnya, hasil penelusuran ICW melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) menggunakan sejumlah kata kunci, salah satunya Rumah Jabatan Anggota, menemukan adanya 27 paket pengadaan dengan total kontrak senilai Rp374,53 miliar. Dua paket di antaranya dilakukan pada tahun ini terkait pemeliharaan mekanikal elektrikal dan plumbing dengan total kontrak sebesar Rp35,8 miliar. Temuan ini menunjukan bahwa telah ada perencanaan yang dirancang agar anggota dewan dapat menempati RJA. (Kompas.com, 11/10/2024).
Katanya biaya renovasi sangat mahal sehingga lebih baik diganti tunjangan rumah. Namun, faktanya kok sudah ada dana keluar untuk menyiapkan RJA agar dapat ditempati oleh anggota dewan yang terhormat. Sungguh, hasrat memperkaya pundi-pundi rekening kental tercium dari balik wacana tunjangan rumah.
Tunjangan rumah dinas anggota DPR jelas menambah daftar panjang fasilitas bagi para wakil rakyat. Berbagai tunjangan kerap menjadi dalih bagi para wakil rakyat agar dapat lebih mudah menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Namun, melihat realitas sebelumnya dan realitas anggota dewan periode ini, mungkinkah harapan rakyat dapat terwujud? Benarkan tunjangan tersebut dapat mendorong kinerja tuan-puan wakil rakyat lebih optimal?
Adanya tunjangan rumah bagi anggota dewan terhormat tidak hanya memboroskan anggaran negara, tetapi juga membuka potensi masalah baru. Salah satunya mekanisme pengawasan yang sulit, terlebih dikabarkan tunjangan ini langsung ditransfer ke rekening pribadi masing-masing. Alhasil, wajar jika rakyat pun menganggap bahwa para wakilnya yang terhormat tengah memperkaya dirinya sendiri.
Ironisnya, wacana pemberian tunjangan rumah bagi anggota dewan ini muncul di tengah masih tingginya angka rumah tangga yang belum memiliki tempat tinggal dan menempati huni yang tidak layak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 mencatat, terdapat 36,85 persen atau sepertiga rumah tangga di Indonesia menempati rumah tidak layak huni. Sementara itu, menurut Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna, mengungkapkan bahwa di Indonesia terdapat 12,7 juta keluarga yang belum memiliki rumah. Angka ini pun diprediksi akan terus bertambah setiap tahunnya.
Mirisnya, merujuk pada perhitungan yang dilakukan oleh ICW, setidaknya dengan anggaran Rp1,74 triliun, pemerintah dapat membangun 10.235 unit rumah bagi rakyat. Sementara dengan anggaran Rp2,43 triliun pemerintah dapat membangun 14.294 unit rumah. Dengan asumsi, setiap rumah memiliki harga Rp170 juta yang terletak di pinggiran Jakarta, setidaknya sudah memiliki luas bangunan 28 meter persegi. Terdiri dari ruang tamu dan dapur yang menyatu, serta dua kamar tidur dan satu kamar mandi. (suara.com, 16/10/2024).
Sungguh, tampaknya nyata, anggota dewan yang terhormat jauh dari kata wakil rakyat. Sebab, kebijakan yang dikeluarkan kerap kali tidak sesuai dengan aspirasi rakyat. Alih-alih menuntaskan persoalan yang mendera rakyat, justru makin tidak peka terhadap derita rakyat. Makin menyusahkan rakyat, sebaliknya makin memakmurkan diri sendiri dan para oligarki kapital.
Katanya wakil rakyat, tetapi faktanya tidak mewakili aspirasi rakyat. Inilah buah getir demokrasi, rakyat hanya dijadikan batu loncatan untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. Setelah kursi kekuasaan diduduki, anggota dewan yang katanya wakil rakyat ini pun lupa dengan kepentingan rakyat. Habis manis sepah dibuang.