Pidato Politik
Setiap prosesi pelantikan kepemimpinan selalu ada ritual penyampaian pidato poitik. Berkaitan pidato politik, seorang pemimpin di semua tingkatan hendaknya mengambil pelajaran dari pidato politik yang disampaikan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq sepeninggal Nabi Saw.
Sehari setelah dibaiat sebagai khalifah di Saqifah Bani Sa’idah, Abu Bakar ash-Shiddiq berjalan menuju mimbar Rasulullah Saw di Masjid Nabawi dengan perasaan gugup. Khalifah pertama itu menghadap ke arah kaum muslimin untuk menyampaikan pidato politiknya.
Berikut petikan pidato politik Abu Bakar ash-Shiddiq: “Amma ba’du, wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian meski aku bukan yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, dukunglah saya. Sebaliknya, jika berbuat salah, luruskanlah saya.
Kejujuran itu merupakan amanah, sedangkan dusta itu merupakan pengkhianatan. Kaum yang lemah menempati posisi yang kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan padanya haknya dengan izin Allah.
Sedangkan, kaum yang kuat menempati posisi yang lemah di sisiku hingga aku dapat mengambil darinya hak orang lain dengan izin Allah.
Jika suatu kaum meninggalkan perkara jihad di jalan Allah, mereka akan ditimpakan kehinaan oleh Allah. Jika kemaksiatan telah meluas di tengah-tengah suatu kaum, Allah akan menimpakan balak kepada mereka secara menyeluruh.
Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak wajib taat kepadaku. Bagunlah untuk melaksanakan shalat, semoga Allah merahmati kalian.”
Dalam pidato politik Abu Bakar ash-Shiddiq tersebut ada ibrah (pelajaran) yang dapat diambil, terutama oleh para pemimpin di semua tingkatan di negeri ini, mulai dari kepemimpinan tingkat desa, kecamatan, daerah, hingga kepemimpinan nasional.
Pertama, jabatan kepemimpinan itu bukan sebuah penghormatan dan penghargaan, tetapi sebagai tanggung jawab dan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan manusia (di dunia) dan di hadapan Allah (di akhirat). Maka, tunaikan kepemimpinan itu dengan sebaik-baiknya dan jangan berlaku sewenang-wenang terhadap orang (rakyat) yang dipimpin.
Kedua, seorang pemimpin tidak anti kritik, justru ia malah minta untuk diberi masukan sebagai sebuah nasihat yang membangun. Dalam hal ini, Nabi Saw bersabda, “Agama adalah nasihat.” Lantas para sahabat bertanya, “Untuk siapa?” Nabi menjawab, “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan untuk seluruh umat Islam.” (HR Muslim dan Nasai). Memberi nasihat kepada pemimpin untuk kemaslahan umat (rakyat) termasuk amal mulia, bahkan termasuk jihad fi sabilillah (HR Ahmad).
Ketiga, seorang pemimpin harus dapat melayani orang (rakyat) yang dipimpinnya, bukan malah minta dilayani. Melayani dengan hati (al-khidmah bil-qalbi), akal (al-khidmah bil-aqli), dan tangan (al-khidmah bil-yad). Hakikat kepemimpinan itu adalah melayani bukan dilayani. Nabi Saw bersabda, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan bagi mereka.” (HR Ibnu Asakir dan Abu Nu’aim).
Keempat, seorang pemimpin harus berpikir keras untuk kesejahteraan orang (rakyat) yang dipimpinnya, bukan malah sibuk memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya. Pastikan, kekayaan (harta) yang yang dimiliki itu benar-benar harta yang didapat dengan cara yang halal.