Politik Air Keruh
Rasanya tidak nyaman dan menggelisahkan, ketika pemimpin negara terpilih yang akan mengurusi negara dengan jumlah penduduk nyaris sebanyak 300 juta jiwa melalui Pilpres 2024 lalu bangsa ini terjerembab di kubangan “politik air keruh”.
Seharusnya proses politik meraih keterpilihan pemimpin di negara penganut presidensial berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Itu berair jernih supaya di permukaannya termanfaatkan terefleksi seperti kaca cermin:
Sehingga, rakyat bisa memandang perspektif harapan ke depan lebih jelas, pasti, dan apa-apa yang seharusnya menjadi strongly recommend bagi kebaikan dan kebenaran bangsa ini untuk maju akan terbuktikan secara nyata. Bukan sebagai narasi propaganda kampanye hanya “omon-omon” belaka yang seringkali Prabowo teriakan!
Satu strongly recomended politik dalam bentuk “rekonsiliasi persatuan” yang ditawarkan oleh Prabowo, seperti terhimpun dalam kuali besar agregasi koalisi partai politik, seperti kehadiran KIM Plus, masih diragukan validitas loyalitas dan integritasnya dikarenakan itu “diciptakan” oleh para elit partai politik yang tidak mengakar dan berakar dari rakyat.
Tetapi, ko-eksistensi mereka hanya berhaluan kepada kepentingan kekuasaan, tempat segala kepentingan materialisme dan kapitalisme transaksional bertumpuk di sana.
Elit-elit politikus itu berbancak-bancakan di sana membetahkan diri mereka tinggal di istana menara gading.
Ketimbang bersusah-susah mengurusi rakyat di istana menara kumuh dipenuhi dengan kejengahan tanpa asa dan kelembaban udara pengap dikarenakan kemiskinan.
Dan kekeruhan itu akan terus berlangsung cenderung disengaja dilakukan pembiaran —sesuai dengan adagium misi keberlanjutan— dikuatirkan KIM Plus malah menjadi kekuatan politik oligarki.
Yang akan mudah dimanfaatkan oleh para penguasa ekonomi oligarki yang akan memecahkan dan mempolarisasi kembali ide idealisme keutuhan “rekonsiliasi persatuan” itu:
Ketika berjuta-juta raw materialisme sumber-sumber kekayaan yang berlimpah itu mulai ditawarkan lebih besar lagi oleh oligarki korporasi konglomerasi itu sebagai sogokan dan penyuapan saat benih-benih KKN sperm yang kini sudah tumbuh bertunas dan berjejaring telah merusak pengelolaan tata negara di semua lini. Baik sudah mewabah di lembaga tinggi negara yudikasi, legislasi maupun eksekusi itu sendiri. Termasuk, Polri dan TNI.
Itulah gaya kekuasaan Jokowi dijalankan selama satu dekade lalu. Oligarki itu ditempatkan pada kursi langsung pendampingan kekuasaan dirinya.
Maka, tak khayal keduanya bersama memegang kendali sentral kekuasaan politik-ekonomi berporos di negara dengan ekonomi terkuat di dunia kini, RRC-Tiongkok.