PKI dan Kegagalan Manusia
Oleh: Buya Hamka
5 Oktober 1965, telah setahun berlalu, hari itu adalah hari berkabung yang amat tragis dalam sejarah negara kita. Waktu itulah sejarah dari enam jenderal dan seorang letnan dikuburkan dengan upacara kenegaraan yang amat khidmat, setelah mayat mereka didapati dalam sumur “Lubang Buaya” yang terkenal. Sebelum terjadi peristiwa Lubang Buaya itu, banyak peristiwa yang kita alami itu ialah serangan teratur kepada Islam. Kaum komunis memandang bahwasanya kekuatan yang akan merintangi mereka untuk mencapai maksudnya mengambil alih pemerintahan di negeri ini ialah Islam dan Angkatan Darat.
Mereka memandang bahaya Islam, sebab hanya Islam satu-satunya kekuatan besar dalam negara ini yang harus lebih dahulu dihancurkan. Sebab Islam mempunyai persenjataan batin yang tidak dapat dikalahkan, yaitu: kekuatan akidah kepada Tuhan. Dan Islam mempunyai ajaran tentang syahid, siap mati menjadi korban karena mempertahankan keyakinan.
Kekuatan besar yang lain ialah Angkatan Darat. Sebab Angkatan Darat itu bersenjata, kekuatan persenjataan ada di tangan mereka. Kalau kedua kekuatan ini dapat dipatahkan, maka terbukalah pintu yang lebar buat menjadikan negara ini negara komunis. Dan setelah komunis berkuasa, langsunglah dia menjadi satelit (boneka) pengekor dari negara komunis yang besar, Republik Rakyat China.
Pemimpin Islam yang tegas menentang komunis telah ditahan dan diamankan. Ulama dan pengarang (kolumnis) Islam yang masih saja menyemburkan ‘Api Islam’ dari mulutnya, berturut-turut diambil dan dipenjarakan. Khatib yang menyatakan sikap tegas dan berani, serta mubaligh yang masih saja meramaikan langgar dan masjid, telah ditangkapi satu persatu, dengan tuduhan subversive.
Beratus pemuka Islam di Sulawesi, Kalimantan, Sumatra dan Jawa ditangkapi begitu saja dan dibuatkan tuduhan-tuduhan palsu. Meringkuklah mereka dalam penjara bertahun-tahun, tidak ada perkara, tidak ada tuntutan ke muka hakim. Rupanya mereka hendak mencapai negara yang adil makmur dengan syarat singkirkan terlebih dahulu pemuka, mubaligh dan khatib Islam yang masih menegakkan keyakinan Tauhid dan tidak kompromi dengan komunis.
Tetapi meskipun telah beratus yang masuk penjara, namun yang tinggal msih melanjutkan perjuangan lebih gigih. Itulah angkatan muda Islam yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan lain-lain. HMI menerima ‘Manipol Usdek’ dan patuh kepada Pancasila dan mereka mempunyai militansi yang kokoh dan disiplin yang kuat.
Komunis memandang bahwa inilah bahaya yang paling besar, yaitu sisa dari kekuatan Islam yang telah dilumpuhkan. Sebab itu maka program terakhir mereka waktu itu kepada Islam ialah mengganyang HMI. Sampai Aidit pada 28 September, dua hari sebelum Gestapu (Gerakan September 30) menyuruh pengikutnya menukar celana dengan kain sarung, jadi (berpakaian ala) perempuan, kalau tidak berani mengganyang menghancurkan HMI. Dalam hal yang satu ini mereka tidak berhasil.
Maka dengan serta merta merekapun melancarkan gerakan yang kedua, gerakan puncak yaitu gerakan 30 September. Sehari terlebih dahulu seorang gembong komunis Anwar Sanusi telah membayangkan dengan penuh keyakinan bahwa:
“Ibu Pertiwi telah hamil tua, para bidan telah siap menunggu kelahiran putera yang dinanti-nantikan.”
Yang mereka maksud ialah telah siapnya komunis merebut kekuasaan.
Mereka bunuh enam jenderal, mereka bentuk Dewan Revolusi dan mereka buat pengumuman bahwa mulai saat itu segala pangkat di atas letnan kolonel diturunkan menjadi letnan kolonel. Kata mereka sejak saat itu jabatan jenderal dan kolonel tidak ada lagi: hapus!
Disinilah perhitungan dialektika manusia dalam garis historis materialism digagalkan Tuhan. Dia sendiri yang turun tangan. Benar apa yang pernah diucapkan oleh Brigjen Sarwo Edhie Wibowo: “Kalau di saat dan suasana seperti ini tidak juga percaya akan adanya Tuhan, tidak ada tempat buat percaya lagi.”