RESONANSI

Perundang-Undangan: Jauh Panggang dari Api

Untuk memulai menjalankan roda pemerintahan baru suatu negara seperti NKRI, sepatutnyalah langkah awal, adalah suatu keharusan bagi Prabowo memperhatikan secara seksama perundang-undangannya sesuai dasar konstitusional negara UUD 1945. Tetapi, sayangnya ternyata itu luput dari perhatiannya.

Pada pidato perdana pelantikan Presiden yang begitu menggelegar berapi-api, rakyat memberikan aplaus dikarenakan Prabowo kelihatan akan lebih concern dan dignity untuk kepentingan rakyat. Alias, Prabowo lebih pro-daulat rakyat. Bukan, pro-oligarki.

Maka, ketika semasa satu dekade rezim berkuasa Jokowi banyak UU dibuat menelikung, menyeleweng dan menyimpang dari dasar konstitusional UUD 1945:

Harusnya Prabowo itu mengumumkan ke publik suatu political will yang sangat kuat pada law enforcement untuk bekerja sama bareng DPR merevisi segera UU yang selama ini dianggap dan dirasakan tidak berpihak ke rakyat.

Melainkan, lebih menguntungkan keberpihakannya kepada oligarki yang dengannya mendapatkan banyak limpahan fasilitas dan privilese. Yaitu, UU Ombibuslaw, UU KPK, UU BRIN, UU KUHP, UU IKN, dsb.

Seraya diumumkan pula untuk mengajukan percepatan RUU yang kebutuhannya sudah sangat mendesak dan darurat, seperti RUU atas perampasan aset bagi pelaku korupsi; RUU Digitalisasi; dan RUU Siatem Ekonomi Indonesia yang sepanjang di seluruh pemerintahan hingga kepemimpinan Presiden ke-7 tak pernah ada.

Khususnya, adanya peran baru BUMN nanti yang hanya boleh dan menjadi mandat mutlak dalam pengeloaan hilirisasi tambang sumber daya mineral, infrastruktur energi konvensional dan terbarukan, serta kepentingan sangat prioritas mewujudkan swasembada pangan yang mutlak bagi kebutuhan rakyat.

Jika itu di awal sudah dijadikan daya dorong luar biasa dan lokomotif utama Prabowo, itu akan mampu dan bisa dijadikan trigger dan pemantik kinerja seluruh lembaga tinggi negara lainnya, seperti DPR/DPD beserta MK dan MA melakukan aras, arah dan tujuan bersama pula.

Sekaligus, ini menjadi batu ujian bagi program penawaran politik strategis Prabowo “membangun rekonsiliasi kebersatuan”: apakah bisa mewujudkan kebersatuan dengan para pihak itu dalam wadah demokratisasi trias politika menjamin sangat tinggi dan mulia loyalitas dan integritasnya bersama untuk kepentingan pro-daulat rakyat itu?

Terutama, bagi KIM Plus di DPR dan Kabinetnya di lembaga Kepresidenan seolah masih terdifraksi dan terekstrasi adanya pengaruh legacy antara dua kekuatan Prabowo dan Jokowi.

Artikulasinya, mengesankan masih adanya belenggu keabu-abuan dan pengelabuan, serta perasaan ambivalensi dan ambiguitas sampai adanya adagium kegalauan dan kegelisahan sebagian publik “Ada apa dengan Prabowo? Masih bolak-balik ke Solo? Meskipun Jokowi sudah tak berkuasa seolah masih menguasainya?”

Yang seharusnyalah adagium itu dihapuskan. “Jokowi enforcement was Gone”. It was expired” supaya jalannya roda politik pemerintahan berlangsung satu komando dalam stabilitas terjaga ketahanan dan keamanannya.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button