Bertaruh Food Estate di Papua, Siapa Untung Siapa Buntung?
Presiden terpilih Prabowo Subianto akan memindahkan proyek lumbung pangan nasional (food estate) dari Kalimantan ke Merauke, Papua.
Anggota Dewan Pakar TKN, Prabowo Drajad Wibowo, dalam UOB Economic Outlook 2025 di Jakarta mengatakan bahwa hal ini terjadi karena food estate yang sekarang dikembangkan di Kalimantan, menghadapi berbagai persoalan karena tanah tidak terlalu subur, top soil juga sedikit, sehingga kurang cocok untuk beberapa hal. (CNBNIndonesia, Kamis 26/9).
Sayangnya, Pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate seluas dua juta hektare ini malah mendatangkan ketakutan berlapis bagi sejumlah masyarakat adat. Selain khawatir terkait ancaman perampasan ruang hidup, kini mereka merasa seperti terkena teror atas kehadiran pasukan TNI di sana.
Pemerintah terkesan diktator memaksa dan sangat ngotot menjadikan Merauke, Papua Selatan menjadi wilayah lumbung pangan nasional, padahal proyek seperti ini sudah beberapa kali terbukti gagal. Menggunakan label Proyek Strategis Nasional (PSN), mega proyek besutan Presiden ini merampas ruang hidup rakyat dan sumber pangan rakyat karena hutan yang akan dialihfungsikan.
Alhasil, proyek tersebut dikritik oleh pelbagai kalangan. Pasalnya, selain Kalimantan proyek sebelumnya juga pernah digagas oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2010 dan mengalami kegagalan.
Proyek ini justru menimbulkan pelbagai permasalahan baru seperti perampasan lahan; pemilik modal yang mengakuisisi lahan dan penguasaan lahan; terjadi eksploitasi buruh; deforestasi; kekeringan dan bencana ekologi yang berulang dan meluas; gizi buruk dan kesulitan pangan; indikasi korupsi; serta kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan korban penduduk asli.
Seolah tak pernah belajar dari kegagalan masa lalu, pemerintah tetap egois dan tak pikir panjang membuat keputusan. Setelah tahun 2021 Gunung Mas, Kalimantan dijadikan bahan percobaan, kali ini Merauke, Papua Selatan mendapat bagian. Padahal, setelah tiga tahun berjalan, ribuan hektar lahan proyek gagal food estate di Kalimantan ditemukan terbengkalai, ditumbuhi semak belukar. Bahkan, ada ratusan hektar yang kini dijadikan perkebunan sawit milik swasta. Para petani mengaku menyerah menanam padi setelah beberapa kali gagal panen. Alhasil, ribuan hektar berakhir sia-sia.
Alih-alih menyerahkan lahan kepada penduduk setempat untuk bertani, justru malah menghancurkan sistem pertanian rakyat melalui model pertanian berbasis korporasi. Bukannya bertanggung jawab atas kesejahteraan petani, sebaliknya pemerintah justru berebut lahan dengan mereka. Hasil tidak ada, hanya sengsara yang didapat. Ketahanan pangan hanyalah omong kosong belaka.
Berbagai konflik agraria hari ini jelas terlihat bahwa pemerintah tidak pernah berdiri di barisan rakyat karena keputusannya selalu bertolak belakang, menzalimi rakyat. Akhirnya, konflik berujung bentrok antara penduduk setempat dan prajurit kiriman negara yang membawa senjata terus-menerus terjadi. Padahal lahan-lahan tersebut adalah sumber pangan penduduk setempat sehingga mereka bersikukuh mempertahankan apa yang menjadi miliknya. Salah satunya dengan melakukan aksi demonstrasi di Jalan Merdeka Barat, Jakarta pada Rabu, 16 September 2024. (tempo.co, 17/10).
Sejatinya negara seharusnya melindungi hak warganya, bukan malah sebaliknya. Seharusnya negara tidak merampas lahan milik petani dan hutan yang notabene milik masyarakat adat yang merupakan sumber pangan. Negara wajib melakukan perlindungan terhadap sumber-sumber pangan tersebut, sekaligus memfasilitasi petani untuk meningkatkan kapasitas dalam memenuhi pangan mereka secara mandiri.
Dalam naungan Islam, negara tentu akan bertanggung jawab atas hal tersebut. Sistem yang tegak dengan fondasi syariat tentunya akan mengedepankan kemashlatan umat, tidak akan lagi rakus merampas tanah hak milik umat.
Negara akan menjadi pengelola dengan tidak merugikan rakyat. Dalam naungan sistem Islam niscaya tidak akan ada petinggi yang berani melakukan tindak korupsi. Sehingga timbul kepercayaan umat kepada negara dalam tata kelola harta kepemilikan umum.