Menyoal Ongkos Mahal Demokrasi
Presiden Prabowo Subianto melontarkan pernyataan menarik baru-baru ini. Dalam sambutannya pada acara peringatan HUT Golkar ke-60 di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12/2024) malam, Presiden Prabowo menyinggung tentang sistem politik Indonesia yang dianggap terlalu mahal dan tidak efisien jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Presiden juga mengatakan bahwa Indonesia sejatinya tak perlu malu mengakui bahwa sistem politik yang ada terlalu mahal. Wajah-wajah calon kepala daerah yang menang pun tampak lesu karena biaya politik yang tinggi. Oleh karena itu, Presiden mengajak para ketua umum dan pimpinan partai yang hadir untuk memperbaiki sistem politik yang menghabiskan puluhan triliun dalam satu atau dua hari saat pemilu.
Menurutnya, biaya politik yang dikeluarkan dapat dialihkan untuk kepentingan lain yang lebih bermanfaat, seperti menyediakan makanan untuk anak-anak, memperbaiki sekolah, atau memperbaiki infrastruktur irigasi. (antaranews.com, 13 Desember 2024).
Sistem politik demokrasi yang mahal menjadi fakta tak terbantahkan dan diakui banyak pihak, termasuk para pelaku politik demokrasi itu sendiri. Ya, praktik dari politik demokrasi memang membutuhkan biaya yang tinggi. Sebab, setiap kemenangan dalam pemilihan dilakukan dengan memoles para calon melalui berbagai pencitraan.
Pencitraan mau tidak mau harus dilakukan untuk mendulang suara terbanyak, karena legalitas kekuasaan ala demokrasi diperoleh dari suara terbanyak. Alhasil, memoles pencitraan seelok mungkin jelas membutuhkan dana yang besar.
Dikutip dari Republika, 22 September 2022, biaya yang dibutuhkan untuk menjadi kepala desa saja dapat mencapai Rp500 juta hingga Rp1 miliar lebih. Tentu dana tersebut tidak hanya berasal dari kantong pribadi para kandidat. Sehingga ini menjadi celah bagi para pemilik modal untuk ikut bermain dalam kekuasaan.
Para pemilik modal ini menjadi penyokong para kandidat, bahkan kerap mencalonkan diri secara langsung. Praktik seperti inilah yang berpotensi bagi pemilik modal untuk mengontrol elite penguasa. Tidak hanya sebagai mitra dalam berbagai proyek, tetapi juga ikut merancang undang-undang yang menguntungkan penguasa dan pemilik modal.
Di sisi lain, sistem demokrasi juga membuka pintu bagi asing untuk ikut campur dalam masalah kebijakan negara, yakni melalui penguasa yang dapat dikendalikan oleh negara-negara imperialis asing. Mereka mendukung penuh para kandidat dalam pesta demokrasi selayaknya boneka yang dapat dikendalikan untuk memuluskan kepentingannya.
Dalam naungan sistem politik demokrasi yang mahal dapat dipastikan bahwa yang berkuasa adalah pemilik modal. Alhasil, rakyat pun dapat merasakan sejatinya pemimpin yang ada kerap kali minim iman dan kepemimpinan. Sibuk korupsi demi mengembalikan modal pesta demokrasi. Alih-alih berempati terhadap rakyat, kebijakan yang dikeluarkan justru jauh dari rasa kemanusiaan.
Sungguh nyata, demokrasi kapitalisme hanyalah melahirkan pemimpin populis otoritarian, yakni pemimpin yang sibuk memoles pencitraan diri seolah-olah mengurus rakyat, tetapi sejatinya hanyalah regulator bagi kepentingan pemilik modal. Inilah buah getir penerapan sistem demokrasi kapitalisme yang terbukti menyengsarakan rakyat hari ini.
Andai benar bahwa pemimpin negeri ini menginginkan perbaikan agar sistem politik tidak mahal dan efMaka alangkah baiknya jika pemimpin negeri ini kembali pada sistem politik yang sahih, yakni sistem politik Islam dalam bingkai Khilafah.
Dalam kitab Ajhizah ad-Dawlah al-Khilafah dijelaskan bahwa durasi kekosongan ketiadaan Khalifah adalah tiga hari tiga malam. Dalam tenggang waktu tersebut, wajib bagi kaum Muslim untuk melakukan pemilihan calon Khalifah. Ketentuan batas waktu pemilihan Khalifah ini niscaya tidak hanya akan memangkas biaya, tetapi juga intrik buruk dan kejahatan.