Muhammad bin Abdul Wahab dan Kontroversi Gerakannya
Muhammad bin Abdul Wahab adalah sosok asal Najd, Arab Saudi, yang dikenal luas sebagai pendiri gerakan Wahabi.
Lahir pada 1703 atau 1115 H (menurut kalender Hijriah), ia memiliki visi yang jelas mengenai masa depan umat Islam, terutama dalam upaya memurnikan ajaran Islam dari segala bentuk penyimpangan dan bid’ah yang berkembang pada masanya.
Gerakan yang didirikan oleh Abdul Wahab ini belakangan dikenal dengan nama “Gerakan Wahabi” menekankan konsep ketauhidan yang murni, yaitu pengesaan Allah yang tidak tercampuri dengan bentuk penyimpangan apapun.
Dalam pandangannya, seluruh aspek kehidupan umat Islam harus kembali ke ajaran asli Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis, dan menanggalkan segala bentuk amalan yang tidak memiliki dasar yang jelas dalam kedua sumber utama tersebut.
Visi Muhammad bin Abdul Wahab dapat dipahami sebagai sebuah usaha besar untuk membawa umat Islam kembali ke ajaran pokok agama, dengan mengutamakan pemahaman yang benar tentang tauhid dan menanggalkan segala bentuk praktik yang dianggap sebagai bid’ah.
Pemikirannya, yang terfokus pada pembersihan ajaran Islam dari pengaruh luar dan tradisi yang menyimpang, menjadi salah satu kontribusi besar dalam sejarah pemikiran Islam, yang pengaruhnya masih terasa hingga hari ini, baik di kalangan umat Islam maupun di dunia internasional.
Pemurnian Ajaran Islam dari Bid’ah dan Penyimpangan
Salah satu pokok utama dalam visi Muhammad bin Abdul Wahab adalah pemurnian ajaran Islam dari segala bentuk bid’ah, yakni praktik-praktik yang dianggap sebagai penyimpangan dari ajaran asli Nabi Muhammad Saw.
Dalam konteks ini, Abdul Wahab berpendapat bahwa banyak tradisi dan ritual yang berkembang di kalangan umat Islam pada masa itu telah menyimpang dari prinsip-prinsip dasar yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.
Ia melihat adanya percampuran antara ajaran Islam dengan praktik-praktik budaya lokal atau pengaruh luar yang tidak seharusnya ada dalam agama.
Sebagai contoh, salah satu kritik utama Abdul Wahab adalah terhadap penyembahan berhala yang masih ada di sebagian kalangan umat Islam, terutama dalam bentuk peribadatan terhadap makam-makam para wali dan orang-orang saleh.
Ia menganggap praktik ini sebagai bentuk syirik (menyekutukan Allah), yang jelas bertentangan dengan ajaran tauhid yang diajarkan dalam Al-Qur’an.
Ia juga mengkritik berbagai ritual atau perayaan yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an atau Hadis, seperti perayaan Maulid Nabi dan perayaan-perayaan lainnya yang dianggap sebagai bentuk bid’ah.