Jaga Lisan di Era Digital
Baru-baru ini, sebuah kejadian viral yang melibatkan penceramah Miftah Maulana menarik perhatian masyarakat.
Pernyataannya yang dianggap menyinggung seorang pedagang menuai kontroversi hingga berujung pada permintaan maaf secara terbuka.
Peristiwa ini menyimpan banyak pelajaran bagi kita, terutama mengenai pentingnya menjaga lisan agar tidak menyakiti orang lain.
Lisan adalah salah satu karunia terbesar yang Allah berikan kepada manusia. Dengan lisan, kita dapat berbicara, menyampaikan gagasan, dan menjalin hubungan sosial.
Namun, dalam Islam, lisan juga diingatkan sebagai alat yang dapat membawa kebaikan atau keburukan, tergantung bagaimana kita menggunakannya.
Nabi Muhammad Saw bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Perspektif Islam
Islam menekankan pentingnya menjaga lisan sebagai bagian dari menjaga kehormatan diri dan orang lain. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 11,
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌۭ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًۭا مِّنْهُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka lebih baik daripada mereka…”
Ayat ini menjadi peringatan bagi kita agar tidak merendahkan orang lain melalui ucapan, apalagi dengan niat untuk menghina atau melecehkan. Lisan yang tidak terjaga dapat menyakiti hati, merusak hubungan sosial, dan menimbulkan dosa besar.
Dalam kehidupan sehari-hari, menjaga lisan berarti menghindari ghibah (menggunjing), fitnah, berkata kasar, atau menyampaikan informasi yang belum pasti kebenarannya.
Rasulullah Saw juga mengingatkan dalam sebuah hadis, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih banyak memasukkan manusia ke dalam neraka selain mulut dan kemaluannya.” (HR. Tirmidzi).