Mendudukkan Kembali Toleransi Umat Beragama
Setiap akhir Desember dan awal Januari saudara-saudara kita yang beragama Nasrani merayakan Natalan.
Walau Indonesia penduduknya mayoritas muslim tapi ‘gema natalan’ cukup semarak, banyak orang mudik karena natalan dan tahun baru. Di TV memperlihatkan ritual natalan di gereja-gereja, asesoris pohon natal bersebaran.
Suasana damai tanpa ada gejolak gangguan dari manapun. Itulah toleransi umat Islam yg setiap tahun dipelihara. Umat Islam membiarkan dan tidak mengganggunya.
Toleransi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) terhadap pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Islam Menjunjung Tinggi Toleransi
Silahkan Bertoleransi asal tidak nabrak syariat Islam sebagai rambu-rambunya. Tidak ada larangan bagi umat Islam untuk bertoleransi dengan umat agama lain asal tidak masuk ranah aqidah dan ubudiyah.
Umat Islam diperbolehkan untuk bekerjasama dan bergaul dengan umat agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan. (Q.S. Al-Hujurat: 13).
Seorang anak yg kebetulan punya orang tua beragama non Islam yg memaksa untuk berbuat syirik,maka dalam hal ini anak wajib menolaknya tapi masih tetap wajib ‘birrul-walidaini’ berbakti kepadanya. (Q.S. Luqman: 15).
Allah SWT tidak melarang kita umat Islam untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang agama lain selama mereka tidak memerangi dan tidak mengusir kita dari negeri kita ini. (Q.S. Al-Mumtahanah: 8).
Bahkan begitu tolerannya Islam yg disampaikan Rasulullah saw kita umat Islam tidak boleh menyakiti ‘kafir zimmi’ yakni orang non Islam yg tidak memerangi umat Islam. Ini haditsnya, Rasulullah Saw menyatakan:
مَنْ آذَى ذِمِّيًا فَقَدْ آذَانِيْ، وَمَنْ آذَانِيْ فَقَدْ آذَى اللهِ
“Barangsiapa menyakiti seorang zimmi (non Muslim yang tidak memerangi umat Muslim), maka sesungguhnya dia telah menyakitiku. Dan barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah.” (HR. Imam Thabrani)