Hikmah dan Pesan Spiritual dari Surah Al-Kahfi (Bagian 2)
Setelah membahas hikmah dan pesan spiritual dari surah Al-Kahfi pada bagian pertama, kita memahami bahwa surah ini menawarkan pandangan mendalam tentang kehidupan, yang menjadikan keimanan dan akidah sebagai pilat utama dalam menghadapi kehidupan duniawi dan ujiannya.
Melalui kisah-kisah Ashhabul Kahfi, Nabi Musa dan Hamba Saleh, serta Dzul Qarnain, Allah mengajarkan pentingnya pengorbanan di jalan akidah, kerendahan hati dalam menuntut ilmu, dan keadilan dalam memanfaatkan kekuatan.
Selain itu, perumpamaan-perumpamaan yang disampaikan mempertegas bahwa, kebenaran dan nilai kemanusiaan tidak diukur dari harta, kedudukan, atau kenikmatan duniawi lainnya.
Pada bagian kedua ini, kita akan melanjutkan pembahasan dengan mendalami lebih jauh hikmah-hikmah lain yang terkandung dalam surah Al-Kahfi, menelaah pesan-pesan yang relevan dengan tantangan kehidupan modern, serta menggali Pelajaran-pelajaran yang menguatkan keimanan kita.
Baca juga: Hikmah dan Pesan Spiritual dari Surat Al-Kahfi (Bagian 1)
Peringatan yang tidak Dihiraukan
Tema ini dimulai dari ayat 54 sampai dengan 59. Orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Allah dan peringatan-peringatan para Rasul-Nya, tidak mungkin diharapkan dari mereka untuk memahami Al-Qur’an, juga memanfaatkannya.
Oleh karena itu, Allah meletakkan tutup-tutup di hati mereka, yang menghalanginya dari memahaminya. Allah menjadikan mereka tuli sehingga tidak dapat mendengarnya. Mereka tersesat oleh sebab perbuatan mereka, yakni mengolok-olok dan menolak ayat dan peringatan Allah. Tertutup hati dan tulinya telinga mereka mengakibatkan mereka tdak mendapat hidayah, sebab hati harus terbuka dan siap menerima pelajaran.
Allah SWT memiliki sifat Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Dengan demikian, Dia menangguhkan azab bagi mereka yang tidak menerima ayat-ayat dan peringatan-Nya di dunia, agar mereka mau bertaubat. Seandainya bukan karena dua sifat tersebut kepada hamba-hamba-Nya, dan Dia tidak memberikan kepada mereka penangguhan dengan harapan dapat bertaubat, niscaya Dia akan mempercepat azab bagi mereka.
Namun, Dia telah menetapkan waktu azab tersebut yang tidak akan luput dari mereka, jika enggan bertaubat. Hal ini sebagaimana terjadi pada umat-umat terdahulu yang enggan menerima Kebenaran dari Allah melalui para utusan-Nya. Mereka dibinasakan, sehingga seharusnya dapat menjadi Pelajaran bagi generasi mendatang agar tidak mengulangi perbuatan mereka yang salah.
وَتِلْكَ الْقُرٰٓى اَهْلَكْنٰهُمْ لَمَّا ظَلَمُوْا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَّوْعِدًا
(Penduduk) negeri-negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim dan telah Kami tetapkan waktu bagi kebinasaan mereka. (QS. Al-Kahf [18]:59)
Sikap Tawadhu dalam Menuntut Ilmu
Dalam surah Al-Kahfi dijelaskan melalui ayat 60-82 keharusan sikap tawadhu bagi penuntut ilmu. Hal ini diabadikan dalam Kisah Nabi Musa as dan Hamba yang Saleh.
Nabi Musa meskipun memiliki ketinggian dalam pengetahuan tentang Tuhan (ma’aarfi ilahiyyah), namun hal tersebut tidak menghalanginya untuk bertahan dalam cobaan-cobaan dalam menuntut ilmu, tanpa memandang status orang yang darinya ilmu diperoleh. Dalam kisah ini juga terdapat penjelasan bahwa ilmu lebih tinggi nilainya daripada harta. Dan sesungguhnya keadaan, seperti miskin, yang ada pada guru tidak boleh menghalangi untuk belajar darinya dan membersihkan jiwa dari noda-noda akhlak yang tercela dengan ilmu yang dimilikinya.