OPINI

Depresiasi Rupiah Kian Mengkhawatirkan

Sejak Ahad (6 April 2025), depresiasi rupiah terhadap dolar pada posisi terendah sepanjang sejarah, mencapai Rp 17.059 per Dolar AS. Berbagai media massa melansir penyebabnya adalah kenaikan tarif dagang Trump terhadap Indonesia sebesar 32 %. Para investor asing kabur dari pasar keuangan. Nilai rupiah diprediksi terus melemah.

Pemerintah berupaya menguatkan rupiah agar tak terperosok lebih dalam. Dengan optimalisasi intervensi di pasar valuta asing (valas) pada transaksi spot dan DNDF serta SBN di pasar sekunder. Untuk memastikan kecukupan likuiditas valas kebutuhan perbankan dan dunia usaha serta menjaga keyakinan pelaku pasar.

Terperosoknya rupiah telah membuat perekonomian Indonesia ketar ketir. Impak pada kenaikan harga barang-barang tak terelakkan. Daya beli masyarakat terutama kelas bawah terus melemah. Pendapatan pelaku usaha pun semakin tergerus. Impak lain, biaya pembayaran utang luar negeri pemerintah dan swasta semakin membengkak. Resiko gagal bayar utang pun membayangi pemerintah. Wajar ekonom mengkhawatirkan terjadinya badai krisis moneter.

Mata Uang Melemah Masalah Sistemik

Volatilitas rupiah terkategori tinggi dan intervensi yang dilakukan pemerintah untuk menanganinya pun selalu berulang. Volatilitas ini tak hanya menimpa uang Garuda, tapi juga mata uang negara lain bahkan negara maju sekalipun. Hal ini terkait erat dengan kebijakan penentuan kurs mata uang dalam sistem kapitalisme.

Indonesia menggunakan sistem mengambang dalam penentuan kurs. Sistem ini dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran valas. Jika lebih banyak permintaan mata uang daripada penawaran, harganya terdorong naik dan sebaliknya. Jumlah permintaan dan penawaran mata uang negara dilihat dari current account (neraca transaksi berjalan) dan capital account (neraca transaksi modal). Current account mencatat lalu lintas devisa dari aktivitas ekonomi berjalan antar negara seperti ekspor dan impor. Capital account mencatat lalu lintas devisa dari aktivitas investasi antar negara. Jika current account atau capital account surplus, ada kelebihan supply dollar AS di pasar. Berarti berpotensi melemahkan dollar AS dan menguatkan rupiah, pun sebaliknya.

Jelas penentuan kurs dengan sistem ini patut dikritisi. Mengapa ? karena penentuan kurs mata uang tersebut membawa ‘gen’ krisis pada negara yang menerapkannya. Alasannya yaitu :

Pertama, alat tukar dalam transaksi barang dan jasa menggunakan uang kertas (fiat money). Uang kertas adalah sistem mata uang berbasis kepercayaan. Karena dicetak dengan mesin, diberi nominal tertentu, lalu dilegalkan oleh stempel pemerintah atau otoritas moneter negara. Nominal uang tak didukung nilai intrinsik. Biaya pencetakan uang kertas sangat rendah. Biaya mencetak uang bernominal Rp 1000,- sama dengan uang bernominal Rp 100.000,-. Pemerintah atau otoritas moneter yang mencetak uang mendapat keuntungan dari perbedaan nilai intrinsik dan nominal uang (seignorage). Semakin tinggi nominal uang kertas, maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar.

Mudahnya membuat uang kertas membuka peluang pemerintah mencetak sebanyak mungkin melebihi penerimaan anggaran. Semakin banyak uang yang beredar, permintaan barang meningkat. Terjadi kenaikan harga barang dan nilai tukar uang pun mengalami penurunan. Akhirnya terjadi inflasi. Tak dipungkiri sumber inflasi yang kerap terjadi di berbagai negara baik skala ringan hingga hiper akibat penggunaan mata uang kertas.

Kedua, instrumen finansial negara berbasis ribawi dan liberalisasi. Salah satu indikator surplus capital account adalah banyaknya investasi asing pada negara. Untuk dapat menarik investor asing, langkah yang ditempuh bank sentral negara adalah menaikkan suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, keuntungan investor semakin tinggi. Ini menunjukkan bahwa negara menstimulasi perekonomian secara ribawi.

Negara membuka kran lebar investor asing berinvestasi di berbagai sektor. Termasuk sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti SDA dan infrastruktur publik. Alhasil investasi di Indonesia didominasi asing sebesar 66,6 %. Ini menunjukkan sporadisnya paket liberalisasi dijalankan oleh negara. Akibatnya sektor kepemilikan negara pun semakin menyusut dan memperparah ketergantungan pada asing.

Para investor baik swasta maupun asing juga menanamkan modalnya di pasar modal. Instrumen keuangan yang diperdagangkan di pasar modal adalah saham, obligasi, reksadana dan sebagainya. Pasar modal dijadikan sarana untuk mendapatkan modal bagi perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Modal ini digunakan untuk pengembangan usaha, penambahan modal kerja dan sebagainya.

Banyak ekonom menjelaskan walaupun pertumbuhan pasar modal pesat, tapi sebenarnya pertumbuhannya sangat rapuh dan rentan krisis.  Karena pasar modal bergerak dalam sektor non riil (virtual sector). Yang diperdagangkan bukan barang jasa tapi uang dan produk derivatifnya. Proses perdagangan di pasar modal pun dipenuhi spekulasi. Investor dapat masuk dengan mudah pada pasar modal negara. Sebaliknya investor dapat membuat saham negara anjlok hanya karena isu tak pasti. Hal inilah yang mempengaruhi naik turunnya nilai mata uang secara cepat.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button