JEJAK SEJARAH

‘Taudih Al-Dalail Ahadist Al-Syamail’, Kitab Pribadi Nabi Saw Karya Guru Mughni al-Batawi

Mohammad Sobary dalam pengantar pada buku, “KH M Syafi’i Hadzami, Sumur yang Tak Pernah Kering”, tahun 2012 mengatakan, orang Betawi tidak dapat dilepaskan dari keislaman.

Hal ini dapat dilihat dari bagaimana orang Betawi menaruh makna kekiaian pada kedudukan yang sangat tinggi dalam jiwa dan hati sanubari mereka. Kiai sangat dihormati karena setiap kali orang menyebut Betawi, orang tak boleh lupa menambahkan elemen keislaman (Kurniawan, 2019).

Di Betawi, banyak sekali ulama yang memiliki peran besar dalam pengembangan karakter masyarakat. Di kalangan masyarakat Betawi, ulama yang mengajar ilmu agama biasa disebut guru atau muallim. Kegiatan keagamaan seperti, ngaji, shalat, pergi haji, taat, dan menghormati jadi hal yang wajib dijalani. Karena, guru bagi masyarakat Betawi adalah pusaka. Salah satu ulama atau guru yang mahsyur dan kharismatik di kalangan masyarakat Betawi adalah Guru Abdul Mughni al-Batawi.

Biografi Guru Abdul Mughni al-Batawi

Guru Mughni memiliki nama lengkap Abdul Mughni bin Sanusi bin Ayub bin Qoys. Beliau lahir sekitar 1860 di Kampung Kuningan Jakarta Selatan. Menurut sejarawan Betawi, Ridwan Saidi, Guru Mughni merupakan ulama ternama di abad ke-19. Hampir separuh dari ulama kenamaan di Betawi pada masa sebelum kemerdekaan adalah murid-muridnya.

Selain itu, beliau juga merupakan ulama Betawi generasi kelima bersama Guru Marzuki di Jatinegara, Guru Madjid di Pekojan dan Guru Mansur di Jembatan Lima, Jakarta Barat, Guru Mahali Kebayoran, Habib Utsman bin Yahya di Petamburan, dan Habib Ali al-Habsyi di Kwitang. Gurunya orang Betawi ini merupakan peletak pilar penyebaran dan pengajaran agama Islam di lingkungan masyarakat Betawi pada akhir abad-19 (Rachman, 2017).

Pada umur 17 tahun beliau berangkat ke tanah suci untuk memperdalam pengetahuan ilmu agamanya. Diantara guru-gurunya selama di Makkah antara lain, Syekh Sa’id al-Babasor, Syekh Abd al-Karim al-Daqhostani, Syekh Muhammad Mahfudz al-Termasi, Ahmad Zaini Dahlan, dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Guru Mughni menuntut ilmu di Makkah selama 14 tahun (Basri, 2021).

Kitab “Taudih Al-Dalail fi Tarjamah Ahadist Al-Syamail”

Guru Mughni memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kondisi masyarakat, terutama masyarakat Betawi. Pada tahun 1926, beliau mendirikan madrasah yang diberi nama Sa’adat al-Darain, yang selanjutnya dijadikan tempat belajar bagi santri-santri beliau. Selain mendirikan tempat mengaji dan madrasah bagi masyarakat. Perjuangan guru Mughni lainnya adalah menuangkan pengetahuan dalam bentuk karya tulis, diantara karya tulisnya adalah kitab “Taudih Al-Dalail.”

Kitab “Taudih Al-Dalail Fi Tarjamah Ahadist Al-Syamail” merupakan terjemahan atas kitab “Syamail al-Muhammadiyah waa Khashail al-Musthafawiyyah” karya Tirmidzi (279 H) dengan menggunakan bahasa Betawi. Kitab ini berisi hadist tentang pribadi dan karakter Nabi Muhammad Saw yang dituangkan dalam bentuk riwayat yang dibagi dalam beberapa bab dengan 57 lembar huruf tulis Arab.

Semangat yang ingin disampaikan Guru Mughni melalui kitab ini adalah mengajarkan masyarakat Betawi cara berinteraksi kepada penciptanya, bersosialisasi kepada masyarakat dan membentuk pribadi serta sikap masyarakat Betawi berdasarkan sunnah Nabi Muhammad Saw. Adapun semangat atau nilai-nilai itu adalah; Pertama, hubungan manusia dengan Tuhan yang harus terjalin dengan kualitas terbaik dalam pengabdian sebagai seorang hamba melalui ibadah.

Kedua, hubungan manusia dengan lingkungan sekitar. Hubungan manusia dengan orang lain harus melihat Nabi Saw mengajarkannya. Sebagaimana dalam sebuah hadist;

“Sufyan bin Waqi’ telah menceritakan kepada kamu, dari Husein, ia bertanya kepada ayahku (Ali bin Abi Thalib) perihal Rasulullah Saw, saat duduk dengan sahabatnya maka ia berkata: “Rasulullah Saw itu berkelakuan ramah, berwajah bahagia, rendah hati, tidak berkata keji, tidak menggibah, tidak pelit, tidak berteriak, tiada menjerit, dan tidak melalaikan diri dari barang yang tidak diinginkan, dan tidak memutuskan akan orang yang mengharap padanya. Menjauhkan dirinya dari tiga perkara; pertama, berbantah, kedua; berlebih-lebihan, ketiga; barang yang mencelakakan dia.” (HR. Tirmidzi)

Nilai hadis tersebut harus dicerminkan pada sikap masyarakat Betawi dengan saling tolong menolong, tidak mengedepankan egonya, dan harus memiliki sifat solidaritas sosial yang tinggi. Ketiga, hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Hubungan ini lebih menekankan pada sikap kesederhanaan, sabar, jujur, dan humoris. Sebagaimana dalam sebuah hadis;

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button