SUARA PEMBACA

Pembatasan Kelahiran, Mampukah Mengentaskan Kemiskinan?

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali membuat kontroversi. Ia mengusulkan agar vasektomi menjadi syarat untuk menerima bantuan sosial sosial bagi warga miskin di Jawa Barat. Pak Gubernur beralasan bahwa jumlah anak yang banyak menjadi penyebab kemiskinan sehingga perlu dikendalikan dengan program keluarga berencana (KB), salah satunya vasektomi.

Usul Pak Gubernur ini pun menuai kritik pedas dan penolakan dari berbagai pihak, seperti Komnas HAM dan MUI. Kritik dan penolakan ini pun berujung pada klarifikasi Pak Gubernur. Ia mengatakan bahwa KB tidak harus dengan vasektomi semata, tetapi bisa menggunakan berbagai metode pengendalian kelahiran lainnya yang lebih fleksibel dan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat.

Dalam pandangan Islam, pembatasan kelahiran dengan tindakan vasektomi termasuk dalam kategori memandulkan atau meniadakan kemampuan reproduksi. Tindakan ini jelas keharamannya. Di sisi lain, Islam juga mendorong umatnya untuk menikah dan memiliki keturunan sebagai bagian dari ajaran agama. Maka sangat jelas bahwa tindakan vasektomi tidak sejalan dengan syarak.

Perlu dicatat bahwa Islam membolehkan perencanaan kelahiran (tanzhim an-nasl), bukan pembatasan kelahiran (tahdid an-nasl). Perencanaan kelahiran ini bertujuan agar keluarga dapat mengatur jarak kelahiran anak demi kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak. Bahkan Islam memiliki aturan tentang metode ‘azl (senggama terputus), serta penggunaan alat kontrasepsi yang bersifat sementara dan tidak membahayakan. Yang terpenting, keputusan tersebut berasal dari kesepakatan suami dan istri, bukan paksaan dari negara, apalagi menjadi syarat untuk mengakses hak dasar seperti bantuan sosial.

Perlu dipahami pula secara jernih dan mendalam bahwa akar masalah kemiskinan sejatinya bukanlah terkait jumlah anak, melainkan karena penerapan sistem ekonomi yang rusak. Ide bahwa pertumbuhan penduduk mengakibatkan kemiskinan merupakan teori lama dari Robert Malthus yang hingga kini belum terbukti. Islam justru menegaskan bahwa Allah SWT niscaya telah menjamin rezeki setiap makhluk ciptaan-Nya. Alhasil, Allah SWT menciptakan manusia dibarengi dengan jalan rezekinya.

Penerapan sistem kapitalisme nyata menjadi penyebab utama ketimpangan dan kemiskinan hari ini. Sistem ini membuat kekayaan negara hanya dikuasai oleh segelintir elite pemilik modal. Menurut data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mencatat bahwa 1 persen penduduk Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Jika diperluas maka 70 persen aset nasional dikuasai oleh 10 persen keluarga terkaya, sedangkan 30 persen aset yang tersisa diakses oleh 90 persen rakyat. (detik.com, 9 Oktober 2019).

Sungguh ironis, sumber daya alam yang melimpah di negeri ini yang seharusnya dikelola oleh negara untuk rakyat, justru pengelolaannya diserahkan kepada swasta bahkan asing. Alhasil, rakyat pun gigit jari, tidak mendapatkan apa-apa, selain dampak negatif seperti kerusakan lingkungan dan konflik sosial.

Ya, kerap kali fakta bercerita, di daerah pertambangan seperti di Sulawesi Tengah, tampak bahwa kekayaan alam yang berlimpah tidak menjamin kesejahteraan rakyatnya. Alih-alih sejahtera, masyarakatnya justru dibelenggu kemiskinan dan penderitaan. Sebab, kekayaan alam yang sejatinya milik rakyat, justru dirampas oleh para korporasi. Perampasan ini pun tidak terlepas dari peran negara yang memposisikan diri sebagai fasilitator dan regulator untuk mengakomodir kepentingan para pemilik modal. Alhasil, orang-orang kaya terus saja menambah pundi-pundi kekayaannya, bahkan saat rakyat menjerit akibat tekanan krisis ekonomi, sedangkan rakyat makin melarat.

Maka muncul pertanyaan, mengapa rakyat miskin yang selalu disalahkan karena memiliki banyak anak? Padahal faktanya negaralah yang gagal menyediakan akses pendidikan dan lapangan pekerjaan yang layak. Sungguh menyalahkan dan menyudutkan rakyat miskin tanpa memahami akar masalahnya merupakan bentuk ketidakadilan struktural, buah getir dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Rakyat dimiskinkan, kemudian disalahkan. Akhirnya, dikekang hak-haknya dengan dalih demi pengentasan kemiskinan.

Inilah akibat menerapkan sistem rusak dan merusak yang tidak sejalan dengan fitrah manusia. Akal tak puas, hati pun tak tenteram. Sebab, berbagai solusi tidak menyelesaikan masalah hingga ke akarnya. Sungguh kontras dengan penerapan sistem Islam yang membawa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.

Dalam paradigma Islam, negara bertanggung jawab sebagai pengurus rakyat (raa’in) yang menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, seperti pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan. Negara niscaya tidak akan membebani hidup rakyat miskin, tetapi justru menjamin kehidupannya agar dapat hidup layak dan bermartabat.

Penerapan sistem ekonomi Islam niscaya menghadirkan keadilan dan kesejahteraan karena meratanya distribusi kekayaan. Sumber daya alam yang merupakan harta kepemilikan umum wajib dikelola oleh negara, serta hasilnya didistribusikan dalam bentuk pelayanan bagi rakyat, seperti kesehatan dan pendidikan. Negara pun wajib membangun infrastruktur, sarana, dan prasarana yang dapat diakses dengan mudah oleh rakyat guna mendapatkan seluruh pelayanan publik tersebut. Oleh karena itu, haram bagi negara menyerahkan tata kelola sumber daya alam ini kepada swasta atau asing.

Sungguh, solusi hakiki atas kemiskinan bukanlah pembatasan kelahiran, tetapi pencabutan sistem kapitalisme hingga ke akarnya. Kemudian menerapkan sistem Islam secara menyeluruh dalam bingkai negara sehingga terwujud jaminan keadilan pengelolaan dan distribusi kekayaan yang semata-mata demi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.

Kini, saatnya kita berhenti menyalahkan jumlah penduduk, serta memfokuskan diri untuk mencampakkan sistem zalim ini dan mewujudkan kembali sistem Islam yang diridai oleh Allah SWT. Sebab, hanya dengan Islam, keadilan dan kesejahteraan sejati dapat terwujud. Wallahu ‘alam bissawab.

Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan

Artikel Terkait

Back to top button