Berperanglah!

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. al Baqarah 216)
Berperang adalah baik bagi kita, kata Al-Qur’an. Memang bila musuh telah menjajah, kita wajib berperang. Tidak peduli kita hidup atau mati, semua adalah kebaikan.
Sifat pengecut harus dihilangkan dalam diri kita. Ganti dengan sifat berani. Berani menghadapi musuh yang menzalimi kita. Berani menghadapi kematian. Berani menghadapi tantangan hidup.
Maka ketika Belanda menjajah tanah air, para pahlawan tidak takut menghadapi kematian. Begitu juga ketika Israel menjajah Palestina, para pejuang Palestina tidak takut mati. Semboyan mereka adalah hidup mulia atau mati syahid, persis seperti ketika kita melawan penjajah Belanda.
Bagaimana bila di masa damai, apakah kita tetap berperang? Perang dalam arti fisik, mungkin sudah berhenti. Tapi perang secara pemikiran, akan terus berlangsung. Sebab penjajah meski tidak menjajah secara fisik, tapi mereka tetap meninggalkan jejaknya di politik, budaya, hukum, ekonomi dan lain-lain. Kita tetap harus terus melawan untuk memperjuangkan keadilan.
Perang melawan Setan dan hawa nafsu akan terus berlangsung selama hidup kita. Begitu juga perang melawan kemungkaran. Berapa banyak kemungkaran di sekitar kita yang harus kita perangi.
Untuk melawan kemungkaran, biasanya kita tidak bisa sendiri. Perlu bermusyawarah dengan orang-orang di sekitar kita. Karena biasanya kemungkaran dibekingi oleh banyak orang. Apakah ia bentuknya pelacuran, perzinahan, minuman keras, perjudian atau lainnya.
Dengan bersama-sama orang lain dalam memerangi kemungkaran, maka dampak dari peperangan itu bisa diminimalisir. Memberantas kemungkaran tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan,
لاَ يَأْمُرُ بِالمَعْرُوْفِ وَيَنْهَى عَنِ المُنْكَرِ إِلاَّ مَنْ كَانَ فِيْهِ خِصَالٌ ثَلاَثٌ : رَفِيقٌ بِمَا يَأْمُرُ ، رَفِيْقٌ بِمَا يَنْهَى ، عَدْلٌ بِمَا يَأْمُرُ ، عَدْلٌ بِمَا يَنْهَى ، عَالِمٌ بِماَ يَأْمُرُ ، عَالِمٌ بِمَا يَنْهَى
“Hendaklah memerintah pada yang makruf dan melarang dari kemungkaran dengan tiga hal:
- Lemah lembut ketika memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar.
- Bersikap adil ketika memerintah dan melarang.
- Berilmu pada apa yang akan diperintahkan dan yang akan dilarang.”