Racun Sekat Imajiner dan Matinya Rasa Kemanusiaan

Kebiadaban Israel kian nyata adanya. Jutaan anak, suami, saudara, telah terbunuh diiringi tangisan para ibu. Gelegar bom terus menerus dipertontonkan. Hancur leburnya bangunan, perumahan, hingga fasilitas publik yang kini hanya menyisakan puing-puing, serta berbagai kehancuran lainnya, tetapi miliaran manusia di dunia hanya bisa menyaksikannya.
Seolah tak puas, dengan bengisnya, Israel memblokade pintu masuk bantuan kemanusiaan dunia untuk Palestina. Alhasil, tak hanya mati karena serangan senjata, warga Palestina harus mengalami kemalangan akibat mati kelaparan.
Dunia tak tinggal diam, arus pembelaan terhadap hak hidup warga Palestina tak henti dielu-elukan. Bahkan, 15 Juni ini gerakan besar diselenggararkan, bertajuk agenda “Global March to Gaza” ribuan aktivis dari 40 negara akan berkumpul di Mesir untuk menuntut diakhirinya blokade Israel terhadap Gaza dan pengiriman bantuan kemanusiaan.
Namun, gelombang ini justru mendapat sambutan buruk dari negeri-negeri Arab. Saat menuju perbatasan Rafah, mereka menghadapi respons tegas dari Mesir. Penguasa Libya turut menghentikan para aktivis yang berupaya menembus blokade Israel terhadap Gaza.
Puluhan aktivis dari dari berbagai negara, termasuk Prancis, Spanyol, Kanada, Turki, dan Inggris ditahan, diinterogasi, dan dideportasi. Mereka ditahan di sebuah pos pemeriksaan dekat Kairo. Paspor mereka disita, dan mereka dibiarkan di bawah terik matahari tanpa izin bergerak. 15 aktivis lainnya ditahan di hotel. Mesir menegaskan bahwa solidaritas harus sesuai dengan kedaulatan negara, keamanan nasional, dan hukum.
Pertanyaannya, mengapa Palestina yang kian malang ini tak kunjung mendapat jalan terang? Bukankah gelombang dukungan, tak sedikit yang disertai tuntutan, telah membumi hampir di seluruh dunia. Mengapa pada saat miliaran orang ingin bertindak, mereka tidak dapat melakukannya? Di sisi lain, mengapa orang-orang yang seharusnya bisa bertindak, yaitu para pemimpin negeri Muslim, justru tidak bertindak dan tampak segan membantu Palestina, saudara seiman mereka?
Kekejaman yang begitu rupa tak mengusik sedikitpun nurani para pemimpin negeri muslim. Mereka telah mati rasa akibat racun Nasionalisme yang telah bersemayam dalam tubuh dan jiwa mereka. Jika saja negeri-negeri Muslim seperti Mesir, Turki, dan Yordania mengirimkan tentara, krisis Gaza dapat segera berakhir.
Namun, sekat imajiner ini terlah berhasil menghalangi tindakan tersebut. Nasionalisme membuat tiap negeri terbatasi oleh sekat-sekat kepentingan yang tidak bisa mereka tembus, Sekat yang membuat mereka tidak mampu melakukan aksi nyata untuk mengirim tentara Muslim, bahkan untuk sekadar membuka aliran sumber daya kemanusiaan.
Para pemimpin negeri Muslim seolah tak mampu berkutik. Mereka jelas turut melumuri tangan mereka dengan darah anak Palestina. Di depan kamera mereka mungkin tampak mengecam tindakan bengis Israel, namun di belakang mereka justrulah yang dahulu mengakui entitas Israel, bahkan melakukan perjanjian-perjanian politik ekonomi dengan Zionis Israel beserta AS sebagai pendukung utamanya.
Umat mestinya sadar bahwa satu-satunya jalan untuk membebaskan Palestina adalah dengan membuang sekat-sekat tersebut dan menyerukan persatuan. Persatuan umat yang akan menggaungkan opini bahwa tak mungkin menghadapi penjajahan dengan tangan kosong. Serangan bersenjata mestinya hanya mampu dilawan dengan kekuatan bersenjata pula, yaitu melalui jalan sahih jihad.
Allah SWT berfirman: “Perangilah mereka di mana saja kalian menjumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian.” (QS Al-Baqarah [2]: 191).
Namun, jihad tak mungkin terwujud tanpa adanya seruan negara. Dan model negara hari ini tak mungkin menyerukan jihad, apalagi mereka justru bergandengan tangan dengan penjajah Yahudi. Tinta emas sejarah telah mengukir bagaimana metode jihad tersebut layak dilakukan, seruan jihad hanya mungkin dikumandangkan oleh seorang khalifah.
Pada 637 M melalui perjanjian Umariyah, umat Islam telah melakukan jihad dan menyirami Bumi Palestina dengan darahnya sehingga wilayah ini merupakan tanah kharajiyah. Saat itu Uskup Patriark Sophronius menyerahkan tanah palestina secara de jure kepada Khalifah Umar bin Khaththab ra.
Pun ketika pasukan Shalahuddin al-Ayyubi berhasil membebaskan kembali Palestina dari cengkeraman tentara Salib pada 27 Rajab 583H/1187 M. Umat Islam Palestina hidup damai di bawah naungan Khilafah hingga imigran Zionis Yahudi datang dan mengeklaim Bumi Mikraj itu sebagai tanah milik mereka. Tatkala Khilafah Utsmaniyah runtuh pada 1924, akhirnya Palestina jatuh ke tangan Zionis Yahudi. Sejak saat itu Palestina, dan seluruh negeri muslim terpecah akibat hilangnya perisai dan pelindung itu. []
Wallahu’alam bisshawab.
Jihan Ainy, Dokter Muda di Malang, Jatim.