NUSANTARA

Jejak Surat dari Makkah: Kisah Ulama Melayu yang Menyeberangi Lautan Demi Ilmu

Makkah, 1915. Di sebuah ruangan sederhana di Tanah Suci, seorang ulama muda asal Nusantara, Muhammad Yunus ibn Haji Daud, menulis surat dengan tinta hitam di atas kertas kuno yang sekarang disebut dengan istilah ‘manuskrip’.

Tulisannya beraksara Arab Jawi, mencampurkan bahasa Melayu dan Arab. Surat itu bukan sekadar pengiriman kabar, tapi menjadi jejak panjang jaringan keilmuan Islam Nusantara yang melintasi samudra.

Surat pribadi yang dikirim kepada Kemas Haji Umar di Palembang ini kini menjadi salah satu dokumen bersejarah yang menggambarkan bagaimana ulama-ulama Melayu awal abad ke-20 menimba ilmu ke pusat peradaban Islam dunia. Sekaligus dengan datangnya surat ini menjadikanya saksi bisu bahwa ketika awal abad ke-20, mobilitas jejaring ilmu para ulama Nusantara khusunya daerah Melayu sudah mulai berkembang besar.

Sebagai catatan, manuskrip surat Muhammad Yunus ibn Haji Daud (1915) kini menjadi bagian penting dari studi naskah kuno Islam Nusantara, dan disimpan dalam koleksi pribadi keluarga Kemas Haji Umar di Palembang.

Kabar dari Tanah Suci

Isi surat itu sarat makna. Bahasanya penuh dengan makna spiritual yang tinggi. Tak lupa juga mengandung etika adab dan akhlak yang luar biasa ketika zaman itu. Muhammad Yunus memulai suratnya dengan membalas kabar yang ia terima sebelumnya dari Palembang. Ia menyampaikan doa serta penguatan kepada kerabatnya yang tengah menghadapi ujian hidup.

Namun surat ini bukan sekadar basa-basi. Di dalamnya, Muhammad Yunus menceritakan kondisi para pelajar Nusantara yang sedang menuntut ilmu di Makkah. Nama-nama seperti Muhammad Sa’id dan Shalih muncul, menandakan bahwa generasi penerus keilmuan Islam dari Palembang tengah berkembang di tanah suci.

Tak hanya itu, ia juga memberitakan kedatangan tokoh-tokoh baru dari Nusantara yang baru tiba di Makkah untuk menimba ilmu. Surat ini seakan menjadi laporan kecil tentang geliat para santri perantau di Makkah, sekaligus menjadi pengikat batin antara tanah air dan tanah suci.

Di bagian akhir, Muhammad Yunus menyampaikan permohonan doa dan salam dari kerabat di Makkah kepada keluarga di Palembang. Surat itu sepenuhnya disusun dengan bahasa yang lembut, sarat etika, dan mencerminkan spiritualitas tinggi para ulama masa itu.

Jaringan Keilmuan yang Melintasi samudra

Surat ini hanyalah salah satu dari banyak bukti bagaimana eratnya jaringan ulama Melayu dengan pusat-pusat keislaman dunia. Sejak abad ke-17, Makkah menjadi magnet bagi para pelajar dari Nusantara.

Mereka menempuh perjalanan panjang, berbulan-bulan di kapal layar, demi berguru kepada ulama besar, lalu membawa pulang ilmu ke kampung halaman.

Nama Muhammad Yunus ibn Haji Daud adalah contoh nyata dari generasi ulama perantau itu. Sementara Kemas Haji Umar di Palembang, sebagai penerima surat, merupakan tokoh terpandang yang menjadi penghubung antara masyarakat Palembang dengan komunitas pelajar di Makkah karena namanya “Kemas” itu merupakan keturunan bangsawan masyarakat Palembang.

Surat pribadi seperti ini kini menjadi saksi bisu bagaimana Islam di Nusantara berkembang bukan dalam ruang hampa, tetapi melalui proses dialog, pembelajaran, dan pertukaran gagasan lintas benua.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button