Politik seperti Permainan Catur

Tadi malam, saya bermain catur. Dalam waktu senggang kadang saya bermain catur dengan anak. Permainan catur memang mengasyikkan. Kita harus bisa membaca langkah lawan dengan tepat. Tapi jangan lupa kita juga harus melangkah dengan cermat.
Waktu saya kecil, saya senang dengan permainan catur. Sehingga almarhum bapak saya memuji permainan catur saya. Saya suka menirukan langkah-langkah pecatur dunia dari Rusia, Garry Kasparov. Di zaman saya kecil ada koran di Jawa Timur yang suka memuat langkah-langkah pecatur dari Rusia ini.
Politik seperti permainan catur. Kita mesti membaca dengan cermat langkah-langkah musuh kita. Tidak boleh lengah ‘semenitpun’. Kita harus tahu mana kawan mana lawan. Ketika kawan kita jadikan lawan dan lawan kita jadikan kawan, maka rusaklah permainan catur kita. Kita pasti akan kalah.
Di sinilah kadang saya berbeda sikap dengan beberapa kawan sendiri. Tentang Syiah misalnya. Saya tentu saja Sunni, bukan Syiah. Tetapi sikap terhadap Syiah saya punya penilaian sendiri. Saya lebih mengikuti pendapat pakar politik Prof Amien Rais dalam masalah Syiah ini.
Pak Amien adalah kader Buya Mohammad Natsir dalam ‘masalah luar negeri’. Saya melihat Pak Natsir tidak menegur Pak Amien ketika ia menerjemahkan buku tokoh Syiah Ali Syariati, “Tugas Cendekiawan Muslim”. Pak Amien pernah ke Iran tahun 70 atau 80-an untuk hadir dalam konferensi internasional tentang Palestina di Iran.
Iran dalam masalah Palestina memang tegas. Iran bencinya ke Israel (dan Amerika) sampai ‘ubun-ubun’. Di dalam UU di Iran, ditegaskan tentang pemihakan kepada Palestina. Pemimpin-pemimpin Iran saat ini juga benci kepada Amerika. Karena Amerika lah yang melindungi dan mensupport Reza Pahlevi yang bertindak kejam terhadap ulama-ulama Iran saat itu. Ketika Revolusi Islam Iran 1979, Pahlevi melarikan diri ke Amerika.
Maka ketika Iran menyerang Israel, saya mendukung Iran. Kenapa? Karena Israel kejahatannya jauh lebih besar dari Iran. Iran tidak menzalimi Palestina, Israel menzalimi. Maka ketika Israel dan Iran bertempur, menurut saya, kita harus memihak Iran.
Iran memang bukan negara yang tidak punya dosa. Dalam kasus Suriah, Iran berdosa. Karena ia mendukung Bashar Assad yang jelas-jelas tega membunuh ribuan rakyatnya.
Saya pernah berdebat dengan seorang intelektual Syiah di Bandung dalam masalah Suriah ini di internet. Ia ngotot bahwa Assad benar. Ia katakan yang memulai demo dengan kekerasan adalah orang-orang Al Qaeda (Sunni). Ia bahkan mengirimkan bukunya untuk masalah Suriah ini. Sebagai balasan, saya mengirimkan buku saya ‘Imperialisme Baru’ kepadanya.
Saya katakan kepadanya, mungkin yang berdemo itu salah. Tetapi Assad juga salah. Ketika ribuan rakyatnya berdemo untuk meminta mundur harusnya ia mundur. Bukan kemudian membunuh ribuan rakyat hanya untuk mempertahankan kekuasaannya. Yang meminta mundur Assad saat itu selain rakyatnya sendiri juga banyak tokoh-tokoh dunia.
Saya contohkan kemudian bagaimana sikap hebat Pak Harto ketika ia mundur dari jabatan presiden. Ketika ribuan rakyat di Jakarta menduduki Gedung DPR MPR dan ‘membakar’ Jakarta (1988), pak Harto memilih mundur daripada mempertahankan kekuasaannya. Pak Harto tidak mau membunuh ribuan rakyatnya, padahal tentara dan polisi saat itu penuh dibawah kendali Pak Harto. Ini masalah kepemimpinan, kata saya.
Mendapat penjelasan saya ini, ia kemudian menyatakan akan mempelajari lagi masalah pak Harto.