EKBIS

Ekonomi Gig dalam Pandangan Islam

Berita pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan besar terhadap karyawannya selalu memunculkan pertanyaan besar: ke mana arah bangsa ini akan dibawa oleh pemerintah?

Janji penciptaan jutaan lapangan kerja tampaknya akan menjadi isapan jempol belaka. Menurut Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, investasi yang seharusnya menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi justru belum mampu menghadirkan tenaga kerja yang signifikan. Hal ini membuat target 19 juta lowongan kerja terasa sulit tercapai (detik.com, 6/6/2025)

Meskipun berkali-kali masyarakat dikecewakan oleh janji-janji pemimpin, hal tersebut tidak membuat rakyat berpangku tangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, jumlah pengangguran justru meningkat menjadi 7,28 juta orang, bertambah 83,45 ribu orang dibandingkan periode yang sama tahun lalu (detik.com, 6/5/2025). Angka ini mencakup korban PHK maupun lulusan baru yang belum mendapatkan pekerjaan. Sebagai respons, jutaan rakyat ini mulai melirik ekonomi gig sebagai solusi alternatif.

Ekonomi gig, atau gig economy, adalah sistem pasar tenaga kerja bebas yang identik dengan kontrak kerja jangka pendek atau status pekerja lepas. Pekerja dalam sistem ini bekerja sesuai dengan permintaan dari klien, seringkali dalam jangka waktu tertentu. Menurut Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, tren informalisasi pekerja ini muncul karena kegagalan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dalam melindungi dan membantu para pencari kerja (tempo.co, 23/9/2024).

Ironisnya, pergerakan roda ekonomi gig yang dimotori oleh para pekerja gig (gig worker) ini justru jauh dari perlindungan pemerintah. Laporan dari Fair Work Project bahkan menyatakan, sembilan platform terkemuka di Indonesia, termasuk layanan taksi daring, pengiriman berbasis motor, dan kurir, gagal dalam memenuhi kelima prinsip global pekerjaan yang adil: gaji yang adil, kondisi yang adil, kontrak yang adil, manajemen yang adil, dan perwakilan yang adil. Tidak dapat dimungkiri bahwa sistem ini belum mampu memberikan jaminan gaji yang stabil bagi pekerja gig. (wartaeq.com, 22/9/2024).

Kondisi ini membuat para pekerja gig merasa seperti berjalan di atas jembatan yang rapuh. Walaupun berbahaya dan berpotensi merugikan, mereka terpaksa bertahan demi menafkahi keluarga. Penelitian mencatat bahwa peralihan pekerja resmi ke pekerjaan gig akibat PHK bersifat ambivalen. Di satu sisi, platform digital menyerap tenaga kerja pasca-PHK. Namun, di sisi lain, status kerja yang tidak terlindungi, pendapatan tidak stabil, dan jam kerja panjang menjadikan ekonomi gig sebagai “solusi sementara tapi rapuh”.

Ini menunjukkan negara terkesan abai. Janji 19 juta lapangan kerja hanya isapan jempol belaka, sementara korban PHK terus bertambah. Kondisi ini memaksa rakyat mencari solusi dengan menjadi pekerja gig, padahal ekonomi gig di Indonesia masih menghadapi banyak kekurangan dan masalah, terutama terkait ketidakadilan pembagian hasil dan kurangnya transparansi platform bagi para pekerja gig.

Ekonomi Gig dalam Bingkai Syariah

Dalam kondisi demikian, Islam menawarkan pandangan yang jelas dan komprehensif mengenai ekonomi gig.

Pada dasarnya, ekonomi gig adalah model kerja baru yang memanfaatkan teknologi, dan akad yang relevan dengannya adalah akad ijarah (sewa/jasa). Dalam akad ini, pekerja (musta’jir) menyewakan jasa atau keahliannya kepada pemberi kerja (mu’ajjir) untuk waktu tertentu atau penyelesaian tugas tertentu dengan imbalan (ujrah) yang jelas.

Jika dilihat dari sudut pandang ini, ijarah hukumnya boleh (mubah), sebagaimana tercantum dalam hadis: “Rasulullah Saw menyewa seorang laki-laki untuk mengurus kebun kurma milik Bani Nadhir” (HR Bukhari dan Muslim).

Masalah utama dalam ekonomi gig saat ini adalah keberadaan pihak ketiga, yaitu operator daring (platform), yang dalam Islam dikenal dengan istilah “simsar” (perantara/broker) atau lebih umum “dallaal” (دلال). Pihak ketiga inilah yang kerap menimbulkan permasalahan, khususnya terkait transparansi dan kejujuran.

Platform seharusnya memberikan perhitungan yang jelas dalam menentukan harga, biaya tambahan, dan pembagian keuntungan, baik untuk penyedia jasa (misalnya pengemudi ojek daring) maupun penerima jasa (misalnya penumpang ojek daring).

1 2Laman berikutnya
Back to top button